Minggu, 21 Desember 2008

sajak

Menyisir Malioboro
kepada ulp

kemurungan seperti apa yang datang padamu
hingga di malioboro yang tak pernah mati kau
merasa sunyi bekerja?
malioboro penuh buebule berbaju tipis
pasangan mudamudi yang menjejaki tangga berjalan
menuju tempat yang paling candu bagi mereka
di teras toko tercium legit gudeg manggar juga
wangi kembang kuburan yang berderet memanjang
bercampur pedagang kerajinan
dengan penjaga yang berdada kencang
sedang kembang kuburan, seakan jadi peringatan
sederetan bakul adalah para simbah yang mengunyah sirih
di mulutnya
dan mungkin kalau aku boleh menduga
sunyi berdiam di sana?

di malioboro orang bunuh diri tak bisa mati
sebab jogja menawarkan jantungnya pada kita

2008

Bertualang Disebalik Candi Yang Sisa


Ketika lanskap kota jogja berwarna kemerahan, kami rasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk berjalan menulusuri candi prabanan yang runtuh ketika gempa 5,9 SR menghantam kota jogja 27 Mei 2008 silam. Lalu kami membangun bayang-bayang tentang perasaan Prono Citro yang ikut hancur bersamaan puing-puing batu candi Prambanan. Persembahan untuk Roro Jonggrang yang ia kasihi tak abadi. Namun sebelum kesanapun, kami harus menunggu Trans Jogja dibatas kota Yogyakarta dan Sleman. Dengan membayar Rp.3000, 00 perorang kami bisa diantar tepat didepan candi Prambanan, perlintasan paling ujung yang dilewati Trans Jogja tersebut.

Begitu sampai disana nampaknya hanya ada sedikit pengunjung saja, padahal hari itu adalah hari minggu. Yang ada hanya sebuah bus, beberapa kendaraan pribadi. Juga nampak beberapa pasangan muda-mudi yang memadu cinta dibawah rindang pohonan. Tanpa peduli tentang mitos pasangan yang datang kesana, akan putus tali asmaranya karena konon silelaki akan tersihir kecantikan Roro Joggrang dan ketika melihat kekasihnya setelah menatapi paras Roro Jonggrang yang rupawan dan tubuhnya yang sempurna maka silelaki tidak tertarik lagi pada kekasihnya.

Matahari nampak menyambut ketika kami sampai, separuh badannya bersembunyi diawan dan lainnya mengintip disebalik candi. Lalu dari lubang-lubang candi yang dalam tahap penyusunan kembali bebatuannya, sinar matahari menyorot kami. Karena gempa 2 tahun silam itu petualangan kami tidak terlalu terpuaskan. Beberapa candi yang sudah berbentuk seperti sedia kala- sudah selesai dipugar- dilarang didekati secara langsung kami hanya bisa menikmati yang sisa itu dengan naik sebuah tangga yang diberi papan diatasnya dari atas kami bisa menyapu seluruh pemandangan. Atau kalau kalau gardu pandang tersebut sudah dipenuhi orang maka dengan rela hanya melihat candi tersebut dari sebalik pagar saja. Tak ada yang berani nekat masuk mendekati candi meski pagar yang dibuat hanya sebatas pinggang orang dewasa sebab susunan bebatuan itu masih ditopang besi yang sangat besar disekitarnya, menjulan hingga melebihi pucuk candi. Truk serta beberapa Bego diparkir didalam kawasan candi, menandakan sedang berlangsungnya proyek pembangunan yang sedang diliburkan.

Lalu setelah puas berjalan menulusuri komplek Pramabanan, tenyata ada pengobat kecewa karena disebelah utara komplek tersebut terdapat sebuah candi yang saya pikir saat gemba yang lalu candi yang tidak terlalu besar tersebut tidak hancur. Kami yang penasaranpun menaiki tiap anak tangganya dan betapa terkejutnya kami ketika melihat ruangan dicandi tersebut dari sebalik jeruji pentup, ternyata candi tersebut hanya berukuran sekitar sebuah kamar kos yang sempit. Dan dari sana kami baru tahu betapa pembangunan candi tersebut diiringi selera artistik yang sangat tinggi sampai-sampai untuk membangun sebuah ruangan kecil harus dilengkapi sepasang tangga yang berada dipintu depan dan belakang, serta atap yang tinggi serta ukir-ukiran disetiap batu yang menempel. Benar-benar dari sebuah bangunan tersebut kami bisa menyimpulkan banyak kejadian yang menyertainya.

Didekat pohon ketapang yang banyak menggugurkan buah dan daunnya kami melepas lelah, meminum sirup serta beberapa potong roti yang sengaja kami siapkan dari rumah. Mata kamipun menatap pemandang yang tergelar untuk kami. Lautan batu, berserakan mungkin belum ditemukan mana pasangan yang tepat untuk digabung-gabungkan. Banyak diantara batu itu yang bertuliskan nomor kode batu yang dicat dengan warna merah. Bayangan kami batu tersebut adalah yang sebentar lagi akan disatukan dengan pasangannya yang sudah lama tidak bertemu. Oya, dicandi yang sudah dibangunpun kadang belum lengkap reliefnya. Hal itu kami ketahui dari belum lengkapnya beberapa tekstur wajah ataupun kejadian yang bercerita didinding candi tersebut. Kerumitan ini disebabkan karena relief tersebut bisa dilambangkan sebagai puzzle. Bahkan hanya untuk menggambarkan wajah, dibagi menjadi empat bagian tatahan

Karena adzan magrib sudah hampir mendekati serta candi sudah akan tutup kamipun keluar dari komplek Candi Prambanan.Dipintu keluar kami dihadang banyak pedagang asongan. Mereka menawarkan banyak miniatur Prambanan dengan berbagai fungsi, misalnya asbak, gantungan kunci hingga baju bergambar Prambanan. Semua didapat dengan harga relatif murah, untuk sebuah asbak kita hanya perlu merogoh kocek Rp.5000,00 sedang untuk sebuah gantungan kunci dihargai Rp.1000,00 saja. Sungguh tak semurah kenangan yang ditinggalkan setelah berkunjung kesana. Ternyata semakin mendekati pintu keluar masih banyak yang ditawarkan selain keeksotisan Candi Prambanan mulai dari kereta mini yang biasanya dioperasikan siang hari agar kita lebih mudah berputar melihat pemandangan, juga diisediakan pula sebuah café dengan menu-menu lokal, khas Yogyakarta dan Klaten. Juga kita dapat berkejaran dengan sepasukan kijang yang dengan liarnya bergerobol dan berlari-lari menjauhi pegunjung yang ingin menyentuh mereka. Selain itu untuk memahami cerita yang ada didinding-dinding Candi Prambanan agar lebih jelas lagi kita bisa menikmati Tari Ramayana dipanggung Ramayana terbuka, pada waktu-waktu tertentu.

Sebenarnya kami ingin melihat Tari Ramayana yang sangat terkenal itu secara langsung namun karena kedatangan kami yang tak sesuai jadwal pentas mereka kamipun menyimpan keinginan kami umtuk waktu lain. Setelah itu dengan banyak pengetahuan baru yang kami dapat dari melihat langsung ataupun membaca keterangan tentang Prambanan yang dijajakkan dengan model buklet fotokopian kamipun pulang. Berjalan beberapa puluh meter dari pintu keluar menuju tempat pemberhentian Trans Jogja. Langit kota Yogyakarta hitam tapi tidak dengan perasaan kami.
(NB: Foto Nyusul)

Selasa, 04 November 2008

esai-esaian

Silaturahmi Puitika?

Mutia Sukma*

28 Oktober 2008 lalu Peristiwa Puitika berlangsung. Sebuah acara silaturahmi bertajuk puisi digelar Taman Budaya Jawa Tengah. Menghadirkan 34 penyair dari 20 kota yang ada di pulau Jawa. Pukul 18.00, nampaknya seluruh undangan telah hadir untuk santap malam bersama sambil berbincang, saling berpelukan dan tertawa-tawa, pendeknya banyak diantara penyair merupakan “sahabat lama” dan ada acara reuni dadakan di acara tersebut. Sebelum membahas acara lebih jauh, ada baiknya saya menyebutkan beberapa penyair yang diundang untuk hadir membacakan puisinya diantaranya adalah, Dharmadi, Jumardi Hs, Kusprianto Namma, Badrudin Emce, Beno Siang Pamungkas, Eko Tunas, Timur Sinar Suprana, Bandung Mawardi, Nurhidayat Poso, Suksmawan Yant Mujiyanto dll. Lalu tepat pukul 20.00 acara inti dimulai.

Setiap penyair diharapkan penyelenggara untuk membacakan 2 buah puisinya. Mungkin karena pertimbangan banyaknya penyair yang harus membacakan karyanya. Sebagian diantara penyair mengkreasikan puisinya dengan berbagai cara misal digarap dengan musik Rock N Roll, Karaoke, Akustik, dsb. Adapula yang membaca essay, adapula yang membacakan puisi sangat panjangnya, hingga belasan lembar dan adapula yang membacakan puisinya berdasarkan teks serta tidak sedikit yang mengatraksikan puisinya dengan bumbu-bumbu teaterikal.

Ruang Theater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah yang begitu anggun menjadi semakin hidup karena sentuhan para pengisi acara yang tersorot lampu pentas yang jumlahnya sangat banyak dan saya rasa itu adalah gedung pembacaan puisi yang terbaik yang pernah saya lihat. Lalu di tengah Fasilitas yang begitu semarak tersebut saya merasakan banyak kebolongan panitia maupun para pengisi acara.

Reuni dan Kekacauan Lainnya

Seperti yang saya ilustrasikan diatas, maka acara berlangsung dengan semarak namun saya mencatat beberapa poin penting yang saya rasa amat mengganggu kemulusan Silaturahmi Puitika tersebut.

Diantaranya yaitu:

a. Panitia seakan tidak siap dengan masalah teknis yang sebetulnya sepele namun bila tidak dilakukan maka akan membawa dampak yang besar misalnya saja tidak adanya TOR acara. Hal ini tentu akan menyulitkan persiapan penyair yang akan tampil. Tentu kita akan maklum bahwa tidak semua penyair memiliki kemampuan tampil di atas panggung dengan baik selayaknya aktor teater. Dengan tidak adanya TOR acara tentu kita menunggu improvisasi pembawa acara, akibatnya banyak yang maju dengan keadaan kaget ataupun belum siap.

Panitia juga tidak memiliki catatan tentang riwayat singkat penyair selama perjalanan mereka berkarya. Hal ini tentu merugikan penikmat, bila mengerucut tentu saya yang merasa paling rugi karena saya sebagai orang yang belum bertemu banyak penyair secara langsung tentu ingin melihat wajah yang selama ini hanya saya baca lewat karyanya. Pembawa acara juga hanya memanggil nama akrab mereka misal “ Beno, Timur, Kabut ” sehingga saya sulit menerka-nerka sesungguhnya mereka menulis nama untuk puisinya siapa? Atau ini si “anu” bukan ya? Apalagi di pers rilis yang saya baca hanya ada beberapa nama saja sehingga saya begitu butanya datang ke sana membaca puisi dengan siapa saja saya tidak begitu paham (karena kebetulan saya diundang di acara tersebut). Akibat tidak adanya bahan untuk mempersilahkan penampil untuk membacakan puisinya menyebabkan pembawa acara – Sosiawan Leak- malah tidak fokus. Dia membelokkan acara menjadi ajang reunian. Sehingga puisi malah menjadi nomor sekian. Dia mempersilahkan sebagian kawan-kawan akrabnya naik ke pentas dengan prolog cerita peristiwa masa lalu, tentang kenakalan masa muda ataupun bahan olokan lainnya. Ini menjadi tidak nyaman karena peristiwa puisi yang seharusnya hadir menjadi tiada, dan peserta atau penonton yang dulu bukan menjadi kelompok mereka menjadi bingung menangkap peristiwa tersebut. Saya rasa ini merupakan kesalahan fatal, meski menurut buku yang saya baca sepotong-sepotong moment kebersamaan mereka dulu tidak jauh dari puisi yaitu banyak diantara mereka yang menjadi penggerak polemik Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang ramai diperdebatkan pada tahun 1990-an. Mereka menggulirkan desentralisasi sastra karena selama ini mereka menganggap sastra terlalu memusat di Jakarta. Tapi malam itu karena terlalu jauhnya pembawa acara membawa mereka berputar-putar maka banyak penyair yang justru menikmati suasana reunian dari pada puisi. Bahkan Beno Siang Pamungkas menyeletuk “Puisi itu tidak penting yang paling penting adalah pertemanan. Sepuluh tahun saya tidak berpuisi tapi saya tetap bisa hidup.” Atau ketika seorang esais muda dari Solo yang berkata “Esai yang dia bacakan lebih dahyat dari seribu puisi yang dibacakan malam ini.” Saya rasa itu merupakan dampak ketidakfokusan acara tersebut. Sehingga puisi kehilangan kesublimannya. Fasilitas yang diberikan Taman Budaya Jawa Tengah secara baik malah terasa kurang dimanfaatkan secara maksimal.

b. Masalah selanjutnya ada pada peserta yaitu, banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan rambu-rambu penyelenggara acara yang telah ditekankan yaitu penampil sebanyak 34 orang, ditambah pengiring acara pada pembuka dan penutup. Banyak diantara para penyair yang mereka lakukan diatas pentas adalah “menampilkan diri sendiri” dengan membawa team musik yang mendendangkan puisinya hingga banyak lagu, ditambah penyairnya masih membaca puisi secara personal. Dalam situasi tertentu, hal semacam itu tentu menjadi sebuah prestasi, tapi disituasi malam itu saya menangkap malah menjadi bentuk narsisus yang merugikan banyak orang, belum ditambah penyair lain yang seperti saya katakan di atas dia membaca puisinya sepanjang-panjangnya. Atau penampil lain yang membacakan esai. Apalagi esai yang dia bacakan bukanlah bentuk kritik puisi atau minimal ada hubungannya dengan bulan bahasa, namun dia malah mengait-ngaitkan dengan Sumpah Pemuda yang kebetulan bertepatan dengan malam itu. Tentu bila panitia lebih tegas hal serupa tidak akan terjadi. Bila saya ibaratkan sebuah pesta tentu mereka sedang salah kostum. Apalagi lama durasi yang termakan untuk penampilan mereka menghabiskan jatah waktu penampil yang membacakan puisiya belakangan. Banyak penonton yang pulang setelah separoh penyair ke belakang. Tentu tak bisa dielakkan ketika puisi dipentaskan kita membutuhkan penonton sebagai apresiator. Dan yang menjadi lebih merugikan adalah ketika empat penyair terakhir pentas diperlakukan sekedar, “asal baca saja,” karena mengejar waktu yang sudah terlalu malam. Ini nampak dari mereka dipanggil langsung keemapatnya ke atas panggung dan mereka dibebaskan menentukan siapa yang tampil lebih dulu. Tidakkah ada baiknya panitia lebih kaku terhadap peraturan guna mensukseskan maksud dan tujuan acara. Toh di luar jam acara, peserta masih diberi tempat pertemuan untuk acara yang lebih santai dan cair misal di mes tempat peserta menginap tentu akan lebih semakin erat lagi menyambung pertemanan. Serta setidaknya saya sebagai anak muda tidak kehabisan wibawa untuk menghormati generasi lebih dulu dengan tidak mengetahui secara vulgar hal-hal tabu yang seharusnya tertinggal bersama masa muda mereka dulu.

Mungkin juga pendapat saya ini terlalu sentimen dan begitu personal tapi setidaknya itu yang saya tangkap dari silatrahmi puitika tersebut. Namun lebih dari itu paling tidak peristiwa tersebut bisa menjadi pemanas energi kreatif, sama ketika mereka bertemu saat masih muda dulu. Tentu pandangan saya sangat subjektif, paling tidak saya bahagia ada diperistiwa bersejarah semacam malam itu, semoga!

Yogyakarta, 30 Oktober 2008

Pertanyaan-pertanyaan Tentang Dunia

i
sayang, terangkan padaku mengapa pantai
mencipta ledakan keindahan
namun memperangkap siapa saja di palungnya
yang dalam
juga laut yang terlihat birunya saja
menyimpan istana bagi ikanikan
mutiara, karang serta terumbu menyibaknyibak

ii
lalu mengapa aku diberi nama Sukma
jika mati itu pasti
mengapa kakakku bernama Takdir
toh dia tak bisa menulis nasibnya sendiri
mengapa nama punya arti sedang semuanya
cuma harapan sekedarnya

iii
ceritakan lagi padaku
mengapa tuhan mencipta cinta
dan memisahkan di lain waktu
dengan cara rahasia
mengapa dunia yang kukagumi dibuat
sedang akan dihancurkan juga akhirnya

2008

Jumat, 31 Oktober 2008

Sajak Marah

bila mama marah
es yang kugenggam mencair
dan lelehannya serupa air mata
rumah kami jadi hambar
tak ada bau masakan
kami cuma saling pandang
dan kesalahankesalahan seperti ada
di pelupuk tatapan

mungkin aku dan kakakku
sepasang gangster yang tak
peduli aturan
tidur terlalu malam dan
susah dibangunkan setiap pagi
lupa cuci piring setelah makan
dan lantai dibiarkan menebal
mungkin oleh debu
mungkin juga kenakalan kami

kalau mama marah
kami lupa waktu dan tanggal
tinggal kesedihan
kesedihan saja

22 juni 2008

seperti demonstran

Seperti Demonstran

padahal berkali aku mengecek handphoneku
berharap ada pesanmu, mengabarkan sesuatu tentang
hari minggu ini
tentang macetnya jakarta yang membuatmu berkali sakit
tentang koran minggu yang memuat tulisan si anu
atau apa atau apalagi

tapi sampai sore,
setelah aku pulang mengajar
pusing dengan anakanak yang terlalu cerewet saat dinasehati
pesanmu, tak juga datang
tiga harilalu sebelum kamu berangkat
kamu sudah janji akan merindukanku sesekali
tapi waktu itu tak juga datang;
perjanjian dibuat untuk dilanggar

aku selalu terjebak remehtemeh macam ini
selalu protes seperti para demonstran katamu
kalau aku marah tokotoko seakan tutup
jalanan riuh serta ada asap dari mobil yang setengah terbakar
maka tangan dan kakiku kuanggap senjata tentu untuk
menyerangmu
“turunkan kepentingan diri sendiri.”

matamu yang jernih pun jadi merah
lalu kubayangkan kamu yang bersepatu lars merobohkan
benteng pertahananku
kokang ditarik dan peluru menembus udara
awan pecah seperti diriku yang tibatiba saja marah

selalu begini,
harus aku yang kirim pesan lebih dulu
menyuruhmu menanyakan kabarku, memberitahu untuk yang keberapa
kalinya aku sudah lupa
kalau perempuan senang dibeginikan, senang dibegitukan
kamu selalu lupa dan ingin diingatkan!
ayolah sayang, ingat pesanku sekali ini
yang pelupa akan dilupakan lebih lama.

yogyakarta, juni 2008

Rabu, 22 Oktober 2008

bukit taratak



Bukit Taratak

mungkin aku akan datang

atau tak pernah datang lagi

membuka pintu tebingtebing taratak

yang lancip

seperti bibir yang siap berciuman

sepanjang kenagarian

sepanjang batas tatapan

hanya kebiruan

kupikir, daratan terkepung laut

lalu para dara menjadi sesaji

kekasih laut

dan barisan bujang yang

di pinggangnya menggantung parang

menebas semak daratan

agar taratak tak lekas jadi kolam

menyeberang

disore yang panjang

wajah para dara putih bedak beras

di depan jendela rumah gadang

menunggu barisan bujang yang menyeberang

namun tak kunjung pulang

hanya tonggak panjang dan kuat

penyangga atap

sesekali menjadi pengobat rindu pada kelelakian.

Padang, Mei 2008

Tentang penulis

Senin, 25 Agustus 2008

dua puisi, dua peristiwa

Teringat Gempa

begitu saja kesedihan itu menyerangku
sepagi ini,
ranjangku tibatiba berubah perahu
yang dipukulpukul gelombang

atap rumahku tak lagi ambruk
juga tembok serupa tentarara membusungkan dada
pintu masih seperti hati yang membiarkanku
datang dan pergi
tapi detik itu juga
semua terasa ciut, gemetar dan pucat

terbayang kembali
aku menghitung namanama kenalan
yang tibatiba berdebu
kadang aku sedikit pangling
nama mereka tak terbaca
atau tertimbun
di antara namanama yang lain

sebagian kotaku berubah keranda
selebihnya adalah pelayat yang murung
tanpa baju,
kerudung
kopiah
kaca mata
atau apa saja yang berwarna hitam
karena yang hidup sekalipun
tetap saja terkubur dihitam kesedihan.

Yogyakarta, januari 2008




Cincin

setiap kali membuka album foto pernikahanmu
yang mengelupas sebagian
jarijarimu mengucurkan kesedihan
setiap lembar yang semakin usang
rambut yang berangsur perak
tapi tak pernah kutemukan warna itu
berkilat di jarimu
begitu murungnya
jangan kau sangkal lagi, mama!

seperti puisi yang patah
akan kusematkan di jari gemukmu kunci
maka kulengkapi nikahmu
dan cincin yang membawa lubang
akan menimbun kesedihanmu yang
setinggi aku.

10-12 febuari 2008

pada sebuah operasi massal

Pada Sebuah Operasi Masal
cerita mbak markini


aku tak ingin punya anak lagi
tiga anakku, masa depannya masih belum terbaca
cuma kantung mata sisa tangisku semalam
yang membuat mereka bisa berselimut sekejap
lalu menanggung perih sewaktuwaktu

aku tahan ngilu
rahimku dipotong
mungkin akan putus pula sebagian nasib burukku
yang selalu mengental menjadi darah
dan disedu anakanakku kapan saja mereka mau
bersama pahit obat generik
menjelma bangsal yang dingin
kasur yang keras
atau menjelma aku yang dibaringkan sekedarnya
atau mereka yang berjejer di sebelahku
menggigau menggerakkan tangan sebagaimana tangan
serta kaki sebagaimana kaki

tembok rumah sakit yang mengelupas
tiang infus berkarat
mungkin merayakan kesedihan anakku
melihat seorang bocah mengunyah roti empuk
dengan coklat yang melelehi gandumnya
seakan ingin tapi tak pernah ingin anakku ceritakan
karena akan membuatku semakin ngilu.


kbr,6 febuari 2008

Selasa, 29 Juli 2008

Sajak Sentimentil

Sajak Sentimentil

kisah yang gaib

tibatiba berada disini

saat kutengok ke belakang

bandul jam mengayun

masa kelam

kau sebut ia

sesering kau sebut namaku

kau sebut namamu

melangkahi garis paling merah

pada diri

pada kelopak matamu

kutemukan sahara yang hangus

entah menjelma apa namanya

tak pernah bisa

kau telan kina itu

panasmu tak pernah sembuh

berlompatan diantara celcius

yang berkeringat

setiap hari selalu kau lewati

jalan yang sama

namun tak pernah kau

temui kisah yang sama

kisah yang gaib

Rabu, 09 Juli 2008

sajak

Teringat Gempa

begitu saja kesedihan itu menyerangku
sepagi ini,
ranjangku tibatiba berubah perahu
yang dipukulpukul gelombang

atap rumahku tak lagi ambruk
juga tembok serupa tentarara membusungkan dada
pintu masih seperti hati yang membiarkanku
datang dan pergi
tapi detik itu juga
semua terasa ciut, gemetar dan pucat

terbayang kembali
aku menghitung namanama kenalan
yang tibatiba berdebu
kadang aku sedikit pangling
nama mereka tak terbaca
atau tertimbun
di antara namanama yang lain

sebagian kotaku berubah keranda
selebihnya adalah pelayat yang murung
tanpa baju,
kerudung
kopiah
kaca mata
atau apa saja yang berwarna hitam
karena yang hidup sekalipun
tetap saja terkubur dihitam kesedihan.

Yogyakarta,januari 2008

sajak

Tentang Malaikat

aku tak pernah suka menulis igauan
sebab katakata adalah doa
dan aku takut
semua kutanggung menjadi nujuman

juga malaikat yang ikut lahir bersamaku
serupa bayang dia mengutitku diamdiam
atau mungkin diamdiam
-sebelum aku ada-
dia sudah lebih dulu mencatat semua
dihabiskannya peristiwa sorga-neraka

di tempat yang gelap
aku dapat berdamai dengan bayang
menyuruhnya istirah barang sebentar
tapi malaikat yang tak pernah bisa kulihat
mengutitku sepanjang waktu

semesta!
mengapa mesti kau kenalkan aku
perihal kata dosa?

yogyakarta,21 januari 2008

Senin, 16 Juni 2008

sajak

Malam Pengusiran

maka pergilah

sesaat tamat riwayatmu
bangkubangku peribadatan yang dingin
tak membuat tubuhmu menggigil
hingga kau yang dulu begitu cengeng
berjalan sendirian sepanjang aspal kota tua
merasakan ketiadaanmu
melewati musim hujan tanpa menginginkan mantel
atau berjalan dimusim panas tanpa apapun
matamu merah
mungkinkah kau sedang marah?

kau pernah merasa angin
mampu berdesir membunyikan lonceng biara
yang berat dan berkarat
berulangulang
dan kau merasa itu puisi
puisi yang akan sampai padanya

maka demi burungburung kecil
pemakan biji mahoni di halaman biara
yang beterbangan karena mendengar
lonceng yang asing
dengan segala kutukan
dia pun relakan kau hilang di ujung gang
yang remang dan tercium aroma
alkohol murahan
setelah itu kau makin tiada
di matamu,
dunia mengubah seluruh lelaki
menjadi gila dan berkalung salip yang
hampir patah
—tak kan kau temukan dia diantaranya—
maka bercakaplah dengan jejak tubuhnya
di tubuhmu saja.

januari 008

Jumat, 16 Mei 2008


Di Kaki Merapi

bersama koto

Di kaki merapi

Aku tibatiba datang

Ke rumahmu; Gendhot

Jalan licin dan terjal batubatu

Menghantarku pada aroma air yang

Sedikit nakal

Menari di atas daun kelompong

Sawahsawah terasiring berkabut

Juga petani yang lalu

Lalang membawa tomat

Melebur seluruh jarak yang

Membikin kesemutan kakiku

Semua luruh menjadi gula

Di teh hangat bikinanmu

Kapankapan aku akan

Datang kembali

Bukakan lagi pintu rumahmu

Untuk kami, sepasang burung

Yang tak berumah

Dukun, maret 2007


Liang

-perempuan itu

1.

sepi berputar di balingbaling waktu

bersama tubuh yang remuk beserta isinya

memuntahkan setiap jengkal kisah

kau hitunghitungi

dengan ruasan jari tangan

hey, mulut ibu fasih bercerita

tentang boneka barbie

membelah menjadi dua atau tiga

di hutan bakau dan rawarawa

karena dosa berapungan

lalu timbul tenggelam

dimainkan gelombang pasang

di waktu yang ituitu juga.

2.

ini masih dari cerita ibu

konon;

pekikan pangkal waktu

disulap menjadi keluh

sejenak hening cipta

mengenang semedi kemaluan

yang diseret peluru waktu

memberi bercak merah

berubah jadi darah

yang mengaramkan segala takut

segala kalut dan rasa malu

3.

cerita ibu terus saja berlantun

di kedalamaan laut yang berkecipak

memberi riak

pada ranjang di atas perahu

yang terburuburu digoyangkan

sungguh,

untuk semua yang bernama pergulatan

seluruh karam telah dilabuhkan

seluruh labuh telah dikaramkan

yogyakarta, 2006

Sabtu, 12 April 2008

catatan sajak


Catatan Membanting Pintu
indrian koto

untuk berapa ratus kali lagi
aku membanting pintu
dan pergi dari rumah
lalu dengan santun mengetuk
untuk kembali pulang

bantinglah
bantinglah lebih keras
saat kau marah
maka lukisanmu di rumah ini
akan semakin mengabur
ditiup udara liar yang jahat, katamu

masih tertinggal bunyi
dengusan nafasku lebih cepat
dari detik
dan seakan penghitung waktu
mulai tak berfungsi sebagai mana
mestinya
saat kau pergi, tambahmu

perdebatan melulu itu
bermaafan dengan segala kedunguan
dan aku akan kembali membanting pintu

ah biarlah, tiap masalah
akan menemukan jalannya sendiri.

Minggu, 16 Maret 2008

Seorang Sakit


Seorang Sakit

biar kubentang sapu tangan
yang kubayangkan serupa bendungan
di matamu. ada air mata yang menjelma mata air
hidup miris
sebab kelewat banyak menelan pil
yang pahit
"bagaimana rasanya manis?"
"bagaimana rasanya asin?"
Rintihmu dengan gigil
yang belum pernah kutemukan

terlihat olehmu
segerombolan bocah telanjang
berenangrenang di matamu, menggodamu
tapi kau tak pernah bisa menjaring apaapa
kecuali ceceran doa yang hampa
rumah baru yang ditawarkan
untukmu: kesunyian

yogya, 2007

Duri Di Lidahmu

Duri Di Lidahmu

Ini sakit yang betah berlamalama
Masa lalu menjilat pada tubuhku
Tubuhmu tak mau bisu

O, padang pasir
Kubayangkan wajahmu yang tebal
Sepanas itu
Kaktus, igauan paling nyata
Untuk para kafilahkafilah

Kulemparkan padamu air pada tubuh kerasku
Tapi durinya
Mendarahkan lidahmu
Tak ada yang tahu
Tak ada yang mau tahu

/kbr 2007

Kamis, 14 Februari 2008

sajak meminta tuhan


Meminta Tuhan

di sepanjang jalan yang becek ini
aku masih saja sendirian
menyerunyeru nama tuhan
merasakan kehadirannya
lewat gesekan dedaun
dan hujan jelmaan tangis
yang dialamatkan pada siapa saja

aku masih saja sendirian
melihat nyala lilin yang kudus
mendengar kesaksian dan pujian
dari jauh

o, lilin. jadilah jala bagiku
perahu yang hampir karam
dan kalau pun aku tenggelam
aku terjebak dipalung yang tenang

aku selalu datang padamu
dengan telanjang
apa yang telah kau berikan
seluruhnya kukembalikan
dan kalau kau merasa
belum seluruhnya
ambillah apa saja yang tersisa

hentikan
hentikan segala pemberian
asal kau tak berhenti menggembalakanku

2007

Selasa, 29 Januari 2008


Jum’at Malam yang Tersesat

jumat malam, tanggal pada kalender bulan mei
yang melahirkan aku untuk kesembilan belas kalinya
lantas kaku menjadi pintu

jumat malam, adakah itu engkau yang
mengetukku diamdiam
dan aku terjaga di mimpi indah yang belum rampung
tak ada percakapan hangat dan menjawab
hanyalah ceceran tiket pertunjukkanmu
menjelma apa saja
menempel di mana saja
juga dihatiku yang tapa

jumat malam, berubah menjadi piala
dan terukir namaku di antaranya
kau kupeluk dengan debaran yang sama rasa
ketika kau mengetukku diamdiam

tapi ada yang ingin kubincangkan,
jumat malam
aku telah tersesat
di peta garis tanganmu
maka biarkan aku membuang
isyaratisyarat itu
di luar pintu.

12 mei 2007

Jumat, 25 Januari 2008

Semacam dendam, Sebuah sajak


Semacam Dendam

semua terasa semacam dendam
kau dan mereka menatapku dengan curiga
dengan rasa marah yang tak dapat kugambarkan
aku hanya ingin menatap diri
berhitung tentang banyak hal
dan merapatkan tubuh pada barisan angkaangka
tapi kau dan mereka mendengar
tangisanku serupa nyanyian
melengking panjang

aku hanya butuh pelukan
di mana ia menyayangiku dengan tandatanda
aku tak akan meminta banyak hal
karena aku merasa memiliki begitu banyak
hanya kepercayaan
yang tak pernah kudapatkan dari kau dan mereka
padanya kutemukan kesakitanku terasa
di tubuhnya

seperti hujan pagi ini
kutemukan genangan dicuram pipi
kau dan mereka
tapi aku tak pernah merasakan apaapa
tak ada yang tergetar dan ingin digetarkan
semua terkecap begitu tawar

beri aku rasa yang lain, cintaku
seperti waktu pertama kali
kau bertemu denganku
lalu merayu dengan bahasabahasa alam
tapi kalian selalu menatapku
dengan kuburan kemarahan
kemarahan yang membuatku
terjebak dan pincang

dengannya, ia selalu memberitahu
semua yang belum aku ketahui
dan yang sudah aku ketahui
akan kami rundingkan pula


november,2007

Selasa, 15 Januari 2008

Sajak Buat Catur Stanis


Anjing Tua dan Kupukupu Merah Jambu

catur stanis


anjing tua di sepanjang terowongan

jalan yang sunyi

memasang lampu wewarni

di setiap jengkal yang gegas

serupa bebunga, malaikat

dan ibu peri, kau undang menari

kau bayangkan

kekupu merah jambu itu iri

berkelepak kecil

dan diamdiam ikut menari

di kepalamu

anjing tua

sulur rapuh tubuhmu

mungkinkah tempat bertapa baru

kekupu merah jambu?

2007