Silaturahmi Puitika?
Mutia Sukma*
28 Oktober 2008 lalu Peristiwa Puitika berlangsung. Sebuah acara silaturahmi bertajuk puisi digelar Taman Budaya Jawa Tengah. Menghadirkan 34 penyair dari 20
Setiap penyair diharapkan penyelenggara untuk membacakan 2 buah puisinya. Mungkin karena pertimbangan banyaknya penyair yang harus membacakan karyanya. Sebagian diantara penyair mengkreasikan puisinya dengan berbagai cara misal digarap dengan musik Rock N Roll, Karaoke, Akustik, dsb. Adapula yang membaca essay, adapula yang membacakan puisi sangat panjangnya, hingga belasan lembar dan adapula yang membacakan puisinya berdasarkan teks serta tidak sedikit yang mengatraksikan puisinya dengan bumbu-bumbu teaterikal.
Ruang Theater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah yang begitu anggun menjadi semakin hidup karena sentuhan para pengisi acara yang tersorot lampu pentas yang jumlahnya sangat banyak dan saya rasa itu adalah gedung pembacaan puisi yang terbaik yang pernah saya lihat. Lalu di tengah Fasilitas yang begitu semarak tersebut saya merasakan banyak kebolongan panitia maupun para pengisi acara.
Reuni dan Kekacauan Lainnya
Seperti yang saya ilustrasikan diatas, maka acara berlangsung dengan semarak namun saya mencatat beberapa poin penting yang saya rasa amat mengganggu kemulusan Silaturahmi Puitika tersebut.
Diantaranya yaitu:
a. Panitia seakan tidak siap dengan masalah teknis yang sebetulnya sepele namun bila tidak dilakukan maka akan membawa dampak yang besar misalnya saja tidak adanya TOR acara. Hal ini tentu akan menyulitkan persiapan penyair yang akan tampil. Tentu kita akan maklum bahwa tidak semua penyair memiliki kemampuan tampil di atas panggung dengan baik selayaknya aktor teater. Dengan tidak adanya TOR acara tentu kita menunggu improvisasi pembawa acara, akibatnya banyak yang maju dengan keadaan kaget ataupun belum siap.
Panitia juga tidak memiliki catatan tentang riwayat singkat penyair selama perjalanan mereka berkarya. Hal ini tentu merugikan penikmat, bila mengerucut tentu saya yang merasa paling rugi karena saya sebagai orang yang belum bertemu banyak penyair secara langsung tentu ingin melihat wajah yang selama ini hanya saya baca lewat karyanya. Pembawa acara juga hanya memanggil nama akrab mereka misal “ Beno, Timur, Kabut ” sehingga saya sulit menerka-nerka sesungguhnya mereka menulis nama untuk puisinya siapa? Atau ini si “anu” bukan ya? Apalagi di pers rilis yang saya baca hanya ada beberapa nama saja sehingga saya begitu butanya datang ke
b. Masalah selanjutnya ada pada peserta yaitu, banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan rambu-rambu penyelenggara acara yang telah ditekankan yaitu penampil sebanyak 34 orang, ditambah pengiring acara pada pembuka dan penutup. Banyak diantara para penyair yang mereka lakukan diatas pentas adalah “menampilkan diri sendiri” dengan membawa team musik yang mendendangkan puisinya hingga banyak lagu, ditambah penyairnya masih membaca puisi secara personal. Dalam situasi tertentu, hal semacam itu tentu menjadi sebuah prestasi, tapi disituasi malam itu saya menangkap malah menjadi bentuk narsisus yang merugikan banyak orang, belum ditambah penyair lain yang seperti saya katakan di atas dia membaca puisinya sepanjang-panjangnya. Atau penampil lain yang membacakan esai. Apalagi esai yang dia bacakan bukanlah bentuk kritik puisi atau minimal ada hubungannya dengan bulan bahasa, namun dia malah mengait-ngaitkan dengan Sumpah Pemuda yang kebetulan bertepatan dengan malam itu. Tentu bila panitia lebih tegas hal serupa tidak akan terjadi. Bila saya ibaratkan sebuah pesta tentu mereka sedang salah kostum. Apalagi lama durasi yang termakan untuk penampilan mereka menghabiskan jatah waktu penampil yang membacakan puisiya belakangan. Banyak penonton yang pulang setelah separoh penyair ke belakang. Tentu tak bisa dielakkan ketika puisi dipentaskan kita membutuhkan penonton sebagai apresiator. Dan yang menjadi lebih merugikan adalah ketika empat penyair terakhir pentas diperlakukan sekedar, “asal baca saja,” karena mengejar waktu yang sudah terlalu malam. Ini nampak dari mereka dipanggil langsung keemapatnya ke atas panggung dan mereka dibebaskan menentukan siapa yang tampil lebih dulu. Tidakkah ada baiknya panitia lebih kaku terhadap peraturan guna mensukseskan maksud dan tujuan acara. Toh di luar jam acara, peserta masih diberi tempat pertemuan untuk acara yang lebih santai dan cair misal di mes tempat peserta menginap tentu akan lebih semakin erat lagi menyambung pertemanan. Serta setidaknya saya sebagai anak muda tidak kehabisan wibawa untuk menghormati generasi lebih dulu dengan tidak mengetahui secara vulgar hal-hal tabu yang seharusnya tertinggal bersama masa muda mereka dulu.
Mungkin juga pendapat saya ini terlalu sentimen dan begitu personal tapi setidaknya itu yang saya tangkap dari silatrahmi puitika tersebut. Namun lebih dari itu paling tidak peristiwa tersebut bisa menjadi pemanas energi kreatif, sama ketika mereka bertemu saat masih muda dulu. Tentu pandangan saya sangat subjektif, paling tidak saya bahagia ada diperistiwa bersejarah semacam malam itu, semoga!