Jumat, 31 Oktober 2008
Sajak Marah
es yang kugenggam mencair
dan lelehannya serupa air mata
rumah kami jadi hambar
tak ada bau masakan
kami cuma saling pandang
dan kesalahankesalahan seperti ada
di pelupuk tatapan
mungkin aku dan kakakku
sepasang gangster yang tak
peduli aturan
tidur terlalu malam dan
susah dibangunkan setiap pagi
lupa cuci piring setelah makan
dan lantai dibiarkan menebal
mungkin oleh debu
mungkin juga kenakalan kami
kalau mama marah
kami lupa waktu dan tanggal
tinggal kesedihan
kesedihan saja
22 juni 2008
seperti demonstran
padahal berkali aku mengecek handphoneku
berharap ada pesanmu, mengabarkan sesuatu tentang
hari minggu ini
tentang macetnya jakarta yang membuatmu berkali sakit
tentang koran minggu yang memuat tulisan si anu
atau apa atau apalagi
tapi sampai sore,
setelah aku pulang mengajar
pusing dengan anakanak yang terlalu cerewet saat dinasehati
pesanmu, tak juga datang
tiga harilalu sebelum kamu berangkat
kamu sudah janji akan merindukanku sesekali
tapi waktu itu tak juga datang;
perjanjian dibuat untuk dilanggar
aku selalu terjebak remehtemeh macam ini
selalu protes seperti para demonstran katamu
kalau aku marah tokotoko seakan tutup
jalanan riuh serta ada asap dari mobil yang setengah terbakar
maka tangan dan kakiku kuanggap senjata tentu untuk
menyerangmu
“turunkan kepentingan diri sendiri.”
matamu yang jernih pun jadi merah
lalu kubayangkan kamu yang bersepatu lars merobohkan
benteng pertahananku
kokang ditarik dan peluru menembus udara
awan pecah seperti diriku yang tibatiba saja marah
selalu begini,
harus aku yang kirim pesan lebih dulu
menyuruhmu menanyakan kabarku, memberitahu untuk yang keberapa
kalinya aku sudah lupa
kalau perempuan senang dibeginikan, senang dibegitukan
kamu selalu lupa dan ingin diingatkan!
ayolah sayang, ingat pesanku sekali ini
yang pelupa akan dilupakan lebih lama.
yogyakarta, juni 2008
Rabu, 22 Oktober 2008
bukit taratak
Bukit Taratak
mungkin aku akan datang
atau tak pernah datang lagi
membuka pintu tebingtebing taratak
yang lancip
seperti bibir yang siap berciuman
sepanjang kenagarian
sepanjang batas tatapan
hanya kebiruan
kupikir, daratan terkepung laut
lalu para dara menjadi sesaji
kekasih laut
dan barisan bujang yang
di pinggangnya menggantung parang
menebas semak daratan
agar taratak tak lekas jadi kolam
menyeberang
disore yang panjang
wajah para dara putih bedak beras
di depan jendela rumah gadang
menunggu barisan bujang yang menyeberang
namun tak kunjung pulang
hanya tonggak panjang dan kuat
penyangga atap
sesekali menjadi pengobat rindu pada kelelakian.
Padang, Mei 2008
Tentang penulis