Rabu, 26 Desember 2007

Sajak Musim Cinta


Musim Cinta


kutangkaptangkap hatimu

yang licin

tertangkap di musim

yang meretakkan tanah

kusentuh dadaku,

sempurna tak ada yang retak

di musim yang lain

tanah basah

pepucuk pohon mekar

tapi milikku tak ada yang retak

tak ada yang mekar

hatimu yang licin

membuat cintaku

tak mengenal musim

/kbr,2007

Selasa, 18 Desember 2007

Catatan Membanting Pintu


Catatan Membanting Pintu

Indrian koto

untuk berapa ratus kali lagi
aku membanting pintu
dan pergi dari rumah
lalu dengan santun mengetuk
untuk kembali pulang

bantinglah
bantinglah lebih keras
saat kau marah
maka lukisanmu di rumah ini
akan semakin mengabur
ditiup udara liar yang jahat, katamu

masih tertinggal bunyi
dengusan nafasku lebih cepat
dari detik

dan seakan penghitung waktu
mulai tak berfungsi sebagai mana

mestinya
saat kau pergi, tambahmu
perdebatan melulu itu
bermaafan dengan segala kedunguan
dan aku akan kembali membanting pintu

ah biarlah, tiap masalah
akan menemukan jalannya sendiri.

2007

Rabu, 05 Desember 2007

Sajak


Lelaki Berambut Kusut

–daeng liwang

aku menemuimu lagi disini

di antara lipatanlipatan hari

dan kalender yang tanggal

kita pernah saling tahu

rasanya sulit;

merapikan rambutmu

yang tak lebih terjangkau

dari peristiwa yang kusut

kau biarkan segala mengepung

kepala –terkadang aku purapura lugu

dan kau melihatnya serupa

serangga menggantung di pucuk

rambut yang takkan pernah bisa

mematahkan rencana–

salonsalon tak pernah teraba oleh kita

karena gunting di dalamnya

mampu memotong rencana yang

serupa kegaduhan

meski kusut,

mampu kubaca banyak peristiwa

yogya, 2007

Jumat, 30 November 2007

Sajak Baru


Kepada Bayang

bila aku lebih cepat musnah

dari pada kau

kirimkan apa yang belum

sempat aku sampaikan pada semesta

bahwa rumah yang paling kekal

adalah kalian

dan bila aku mati kelak

akupun ingin dikubur di hati

kalian saja

bila kau lebih cepat musnah

dari pada aku

aku akan mengenangmu

sebagai kaca yang paling buram

untukku bercermin

saksi yang tak sempat disumpah

karena keburu terbunuh

oleh gelap persetubuhanku

bila aku dan kau samasama musnah

setidaknya, puisiku akan tetap abadi

yogya, 2007

Rabu, 14 November 2007

Sajak Suralaya


Suralaya

Bersama ficky. untuk pacar

pacar.aku membaca puisi

di antara awanawan

tersentuh dingin langit

dan panas bumi

terlihat kotakota

membentang desadesa

dan kurasa kita sama

kecilnya di bawah sana


pacar.aku membaca puisi

di antara awanawan

akan tertinggal suaraku sebagai tunas

di telinga hantu suralaya

dan malam ini ia merasuk disini

menjelma taman metafora


pacar.aku membaca puisi

di antara awanawan

telah kujadikan ia tanda

bahwa hurufhuruf adalah semesta

yang tak pernah selesai

dirangkai katakata


oktober 2007

Kamis, 08 November 2007

Telponmu di Ujung Minggu Petang

hah, akhirnya kau menelepon juga
menyapaku di ujung minggu petang
yang hampir celaka.

sungguh, menunggu telponmu
seperti puput yang kehilangan krayon lilinnya
di laci sekolahan
lalu pulang membawa genangan parit di matanya.

Aha, akhirnya kau meneleponku
menyapa di ujung minggu petang
yang melulu celaka.

kemudian kau menguruturutkan fonem
di absensi harimu pekan ini
sambil menggambar bibirku di tembok wartel
dengan krayon lilin puput yang ternyata
kau curi diamdiam dari lekukan harinya yang kosong.

setelah bibirku selesai kau gambar
kau bercerita tentang warna merah
dengan tepian hitam di bibirku
menyungut mengutukimu
yang tak segera meneleponku
di ujung petang yang lain.

“hahaha.. kau pasti akan senang melihat
gambar bibirmu, dek! yang tahan segala cuaca.”
dan aku mencoba mengunci kegelian
yang sedari tadi kau suguhkan
“diamlah, to! ini benarbenar bukan lelucon murahan
dari majalah seribuan.”

setelahnya, suaramu lindap dari telinga
mungkin menungguku
mengawinkan patahan kata.

tarikan nafas
kuluman malam
telah lumat di kaca jendela.
bersamanya kulihat gambar bibirku
dengan warna merah dan garis hitam di tepinya
lalu segera saja kubuka lebar kegelian simpananku
yang sempat mati suri.

suaramu tak terdengar lagi di sini
mungkinkah membeku di ujung eskrim vanila
kesayanganmu?(karena, kau heran mendengarku
melihat gambar bibirku)

ssst, apakah kau lupa kekasih?
bila mataku tak melihat
maka matamulah yang melihat.

suaramu tak terdengar lagi di sini
dan eskrim vanilamu diambil puput
di samping krayon lilin di meja kerja.
ia berteriak gembira.

teriakkannya terdengar sampai di sini.

motherday 2006

Jumat, 21 September 2007

Tsabit dan Bus-bus Kecil


Tsabit dan Bus-bus Kecil

;mira, trans pos, maju lancar.
dan begitulah kau memberi nama
pada besibesi dingin panjang beroda
di rak kayu kesayanganmu.

mulut lucumu lalu bercerita
tentang kau yang akan turun, naik, bergelantung
di bis tempatmu menjadi kernet kelak.
ya, seperti hidup, semua turun, naik, bergelantungan
atau kau yang kadang memegang kendali bus
dan ditemani oleh seorang wanita cantik
–seperti dalam sebuah cerpen papamu.
“wanita cantik dengan paha keju dan roti.”
Tambahmu.

tsabit, ajaklah aku ke negerimu
yang penuh bau solar, berisik dangdut
juga namanama bus yang sudah atau belum
sempat kau cipta. ajaklah aku
ke negerimu, negeri yang kau cipta tanpa alamat.

kbr, 2007

Aku Menunggu Puisimu, Manisku









Aku Menunggu Puisimu, Manisku


aku menunggu puisimu, manisku
di antara berisik gelombang radio
dan antrean panjang penelepon di ujung sana
entah ujung yang mana.

kalimat meleleh
menjadi tuak
dan kita mabuk katakata.
duh, tiap kamis yang habis dilewati
aku akan menengadah tangan
agar hari ini
menjadi sepuluh atau
seratus kali lebih lama
dari biasanya.

aku menunggu puisimu, manisku
dan kau berbisik,
“tak perlu menunggu puisiku untukmu
hanya tiap kamis, sayang.
sebab aku dan kamu
puisi yang tak habishabisnya ditulis.
percayalah. percayalah.”

agustus 2007

Senin, 20 Agustus 2007

Menunggu Sinterklas datang



Menunggu Sinterklas Datang
-masih buatmu; do

sesetia pion yang selalu memakan
tanpa nada skak, kau menyerang
dari belakang
menggayung lupa katakata
yang tak kau entas
di pematang berhitam, berputih

sekarang telah pukul duabelas malam
tubuhmu sudah bergidik ingin pulang
tapi tidak!
malam masih panjang
dia cukup santun untuk cepatcepat
kau bungkam tawanya

bila rindu pulang datang
berangkatlah ke dapur
raciklah segala salah dalam
kantongkantong sinterklas
hidangkan di pertandingan
pada malam natal yang nyaris
bertabrakan
agar semua berubah berkah
lalu raja dan ratu
dipermaian caturmu
gegas membuka gerbong yang
menerbangkan beribu rahasia

namun, kalau kau masih rindu pulang
sabar, tunggu sebentar
natal belum datang

februari 2007

Selasa, 07 Agustus 2007

Mencatat dari Ibu 1


Mencatat dari Ibu 1

;prtw

kan kutetek susumu ibu

agar segala busuk berubah manis

merasuk juga dibatas jagaku

agar kumampu mengajarkan lagi bahasamu

yang rontok dari buku

2007

Mencatat dari Ibu -2


Mencatat dari Ibu 2

apalagi yang bisa kupetik darimu, ibu

selain gamang

dan cita-cita yang gadai

semua kian berlarian

saling tegur dan saling hantam

aku takut ibu!

inikah yang kau tanamkan dalam-dalam?

rasanya bukan,

karena kumasih lamat-lamat ingat

seringai suaramu dulu pecah di telingaku

lalu berucap;

aku akan menjadi wali

bagi siapa saja yang belum terwalikah

katamu

dan kini ketika rawa bakung menjadi gedung

yang kudapat hanya terus saja membayar

apa saja yang terus kau beli

2007

Pengantin Kudus


Pengantin Kudus

:bab

kita bertemu

di mana debaran pecah

memberi butiranbutiran air

karena hati yang dikaratkan

oleh hujan di musim yang berlainan

tak pernah kita

sungguhsungguh datang membawa

niat mengerami telur

di sarangnya sendirisendiri

hingga hangatnya

mampu menggariskan skala

pada teras rumah

yang kian ciut

di susut petang yang hibuk berkarnaval

cerita yang telah kita kisahkan ini, bab

pernah tertulis di buku halaman kesekian

dari lembaran cerita yang ini juga

bahkan alur dan rupa

mengikuti ekor induknya

kupikir

janganjangan kisah ini

seperti kemarin juga

kita akan dibiasakan

menerima pinangan paksa malam

yang sunyikudus

yogyakarta, 2007

Rabu, 25 Juli 2007

Di Borobudur


Di Borobudur

aku membaca jejak sidartha

di antara pekat hitam batu-batu

langit mengirim tangkaitangkainya

mengering di tubuh kami

yang basah

riuh perjalanan pun menjadi

relief baru yang memahat

cadas tua penangkas waktu

berlompatan mengirim kisahkisah lalu

yang diceritakan padaku

dikurung candi tanggal

kutemukan dirimu tetap di situ

;sidartha

memetik daundaun doa

yang tangkainya telah jatuh

di tubuhmu

untukku padamu

yang tetap di situ

borobudur, 2007

Senin, 16 Juli 2007

Selamat jalan pakde Yoyok

(Jum'at, 13 Juli 2007, hari terakhir ia shalat subuh berjamaah sebelum ia menyerahkan tubuhnya pada batangan besi panjang Kereta Api. Pakde Yoyok telah pergi, pagi itu. sebuah usahanyua menjemput maut. saudaraku, untuknya, kakak dari ibuku ini, saya minta sepotong do'a, semoga Allah, Tuhan yang maha Elok menerima kehadirannya. tak ada lagi kata. segalanya telah disusun sebagai rencana dan garis nasib. pakde, selamat jalan.. selamat jalan... kami tak berani menatap tubuhmu waktu itu. tubuh yang tak lagi bisa kami kenali. tidurlah yang tenang....)


Sepotret Ungu
;
kepada paman

di hari yang kelewat subuh
kau terus saja memotretmotret
masalalu warna ungu
serta pecahan kaca jendela kian
berdebu

rajutan katakata dari mulutmu
kau tudungkan tepat di atas kepalaku
setelah sebelumnya menekan kencang
tombol blitz
yang kelewat tak mau berkilat
lalu segera menggantinya dengan
guratan kilat ludah
yang muncrat dari mulutmu

setelah potret ibu, adik dan tahu
ada di tanganmu
kau robekrobek jadi duapuluh entah limapuluh
sebagian sobekannya kau sembunyikan
di plastik bekas minuman
serta lainnya kau lempar ke udara
serupa hujan salju, menjelma kupukupu

sayang, jaring dari helaian ubanmu
tak lagi mampu menangkap si kupukupu
untuk melengkapi mim, nun, wau
di lembar akhir huruf hijaiyahmu
yang tertulis di balik potret

sungguh, aku tak pernah punya lagi
setelah kata bijak
selain; diam.

yogyakarta, 2007

Malam Dingin




Malam ini dingin, ibu
Seakan semua telah bersepakat memusuhiku
Menginjaki hati yang menyimpan kelembaban
Telah ditumbuhi jamur berbau anyir
Jamur anyir yang mengingatkanku
Pada segala kejadian busuk
Terkumpul di keranjang nasi basi

Satu, dua, tiga
Aku menghitung upah yang banyak
Menampung luka
Menempel lengket di permukaan
Sayap lalat yang rebah
Lalu berterbangan
Mengelilingi si nasi basi
Sambil berteriak,
“Hallo!!”
di sini hanya ada lalat
mencium keningku, ibu
mencuci segala rahasia
hanyut di setiap lembut udara
malam ini dingin ibu
seakan semua telah sepakat memusuhiku

2007

Sebuah Kota




hallo yogya
kukepak sayap yang hampir patah
bulubulu yang gagal tumbuh
di sengat asap
bau selokan
juga bunga dan buah busuk
mengambang memenuhi kotaku
aku datang mengunyah setiap
kilometer angkaangka serta jarum jam
yang tak mau ditahan

di sini
kau malah termangu saja
di sudut taman
daun kuning murbai
habur di pelataran
jari lentik menari
memainkan selendang lalu
melenggang kemudian
ikut gugur bersama daundaun
kuning murbai
hanya ada sambalsambal cerita
yang memerahkan pipiku yang gembil

ini kupulangkan
gambar malioboromu
yang dari kemarin kugenggam
maaf telah membentuk
lipatanlipatan
garis murung dan lupa
dinyanyikannyanyikan

ah, kau tak mau menerimanya?
sudah bosankah menyesap segala aroma?
sungguh, aku tak mau
gambar ini lagi


darimu aku belajar
mengeja ceritacerita kota
yang lebih segar dari kotaku sendiri
kubuang gambar malioboro
dan aku mulai terbang

pulang!

Selasa, 29 Mei 2007

emansipasi


aih.. sukma hari ini sukma mencoba menulis di blog sendirian. hahaha.. tak ada yang boleh masuk ke wilayah "privacy" ini kecuali sukma yang minta dengan setengah memaksa.. hahahhaha...

tapi emang (bukan) manja. namanya juga emansipasi. iya gak sih??

sajak


Undangan Kematian

Kau mengundangku mencium
Wangi kapur barus, asap dupa
Juga untaian melati
Di pesta kematianmu
Segala wewangian itu menerbangkanku
Pada segala yang putih
Menyembunyikanku dari bibirnya
Meneguk seluruh kata, seluruh dosa
Dan dititipkan pada rambut hitammu
Atau helaian yang memerak
Karena mangkir dari janjinya

O, semalam kita masih mengemas
Pandang, bukan?
Jangan-jangan pandang semanis selai itu
Dia oleskan di wajahmu
Hingga semua berubah senyum di tengah
Pesta berhidang kue duka
Juga kuas selai yang anakmu pakai
Tuk mengeruk tanda tanya

“Tak ada matahari
Tak bertukar dengan bulan, anakku
Ingatlah pada bintang-bintang yang riang
Setelahnya dan aku akan tetap
Hidup meski di hatimu,” katamu
Sambil menutup mata
Dilelap yang paling senja ini
Sekali lagi kau rangkai aksara
Meredam kecewa yang temaram

“Anakku yang baru datang, akhirnya
Kau akan segera pulang juga, bukan?”


cerpen sukma

Kita yang Tak Bertemu Di hari ke-17 keberadaanku di kota ini, aku rindu pipi ranummu juga rambut hitam panjang yang selalu kau jaga meriap ditiup angin sawah. Bulu mata pun basah di hari perpisahan kita. Amplop putih yang kupegang hati-hati ini menampung seluruh kabarku tentang kosan 3x3 di perkampungan kumuh yang bergang sempit dan separuh jalannya tertutup kandang ayam lalu pekerjaanku menjahit sarung tangan kulit di sebuah ruko di dekat pusat kota. Pekerjaan yang baru kudapat tiga hari yang lalu dan aku belum tahu pasti berapa hasil keseluruhannya setelah nanti satu bulan. Setiap selesai menjahit sebuah sarung tangan dengan rapi aku diberi upah 500 rupiah dan apabila hasilnya kurang memuaskan 350 rupiah saja. Dalam sehari rata-rata aku mampu menjahit 12 sarung tangan, padahal setiap bulannya aku harus membayar kosan 90.000 rupiah. Semoga kau memahami apa artinya semua ceritaku, tapi tenang, aku lelaki dan pasti akan menepati janji untuk menjemputmu, Dek. Jelas bukan sekarang.
Aku berharap keras dengan kemampuanku menjagal sapi di kota aku akan mendapat uang banyak. Di rumah dulu, setiap ada hajatan besar aku selalu diundang menjagal sapi, begitu juga waktu lebaran haji. Aku nekat ke kota karena cerita dari bapakmu. Ada teman beliau yang menjagal sapi di kota, pulang-pulang memiliki banyak uang dan membeli rumah. Di sana dia bekerja pada juragan bakso yang setiap harinya menyembelih sapi-sapi gemuk. Para jagal dibayar sangat mahal karena di kota profesi jagal sapi sangat jarang keberadaannya. Tapi sampai hari ke-17 ini juragan bakso yang kucari tak kunjung kutemukan. Hingga terpaksa aku melamar pekerjaan menjahit sarung tangan ini, paling tidak untuk membayar biaya tempat tinggal dan makan sebelum aku menemukan tempat juragan bakso yang disebut-sebut bapakmu itu. Sepulang kerja kulanjutkan mencari, berjalan sempoyongan hingga sekarang. Namun kali ini sedikit berhati-hati karena membawa surat untukmu itu, Dek. Kutemukan sebuah kotak pos di tikungan jalan menuju pasar. Kupandangi sekali lagi surat itu, ujungnya agak lembab terkena keringat tanganku.
Kucium erat sambil berbisik, “Sabar, tunggu aku menjemputmu, Dek.”
Lalu kumasukkan ke mulut kotak pos dan aku berjalan lagi masih sempoyongan.
***
Hampir sebulan setelah keberangkatanmu, kau belum juga berkabar, Mas! Kapan kau menjemputku? Ayo tolonglah segera, bapak berbohong beliau bilang kalau kau ke kota menjagal sapi-sapi juragan bakso, kau akan kaya. Tak ada teman bapak yang memiliki rumah dan uang gara-gara itu. Bapak mengecoh kita karena desas-desus tentang anak Pak Dukuh yang akan melamarku. Seminggu lagi dia akan datang membawa banyak uang seperti yang diinginkan bapak.
Aku harus bagaimana lagi? Segala cara telah kulakukan, menemui mamak juga bapakmu, tapi mereka tak berani berbuat apa-apa menanggapi lamaran anak Pak Dukuh itu. Mereka takut urusan kemasyarakatan mereka nantinya akan terganggu. Tak lupa kutanyakan juga di mana rumahmu saat di kota, namun mereka menggelengkan kepala. Aku dan keluargamu sama-sama tak kau kirimi kabar. Oya, kau ingat Pak Kurnia penjual barang keramik di kota itu? Dia juga tak luput kutanyai dimana kau berada, waktu dia pulang beberapa hari yang lalu.
Tapi dengan nada sedikit acuh dia bilang, “Kota itu luas …”. Sombong sekali dia. Mentang-mentang bekerja di kota. Hah… dia malas menerangkan saja. Kalau dipikir secara logika di mana-mana itu wilayah desa lebih besar daripada kota.
Ahh, Mas, aku harus bagaimana ini?
***

Jalanan terasa semakin sesak, Dek. Mencari juragan bakso dan menunggu balasan berlembar-lembar suratku yang telah kukirim berulang-ulang untukmu sama menyiksanya. Jahitanku di sarung tangan semakin hari semakin tak beres. Bos mengomel tapi tak mampu membuat sulut jantungku yang berdegup begitu kencang. Hari-hari yang kulalui dengan terus berjalan dan kelelahan tak juga membuahkan hasil yang manis.
Pernah pada suatu hari aku menemui sebuah kios besar penjual bakso. Baksonya sebesar kepalan tangan, pegawainya banyak, pembelinya antri penuh sesak. Kutemui salah satu dari mereka dan bertanya.
“Mas, kalau tempat penjagalan sapi di mana?”
“Ahh…, Mas itu, sekarang kan musimnya daging impor, Mas! Tak ada tempat penjagalan sapi lagi. Lahan kota sudah sesak bila harus ditambah deretan binatang gembul,” jawab pegawai bakso itu sambil membuat es jeruk pesanan pembeli.
Aku lalu keluar dan tetap masih berharap ada tempat penjagalan sapi yang membayarku mahal. Agar aku bisa segera menjemputmu, Dek. Tentu untuk menikah. Aku berjalan lagi menelusuri trotoar yang semakin berdebu, masih sempoyongan menahan letih seperti yang lalu. Setiap hari aku berharap di segala tumpukan lelahku, aku menemukan surat balasanmu di bawah pintu. Dalamnya, kau menulis kata-kata indah bahwa kau masih sabar menungguku, Dek.
Tapi selalu kosong. Tak kutemukan juragan bakso yang mencari penjagal sapi, tak kutemukan juga surat balasanmu. Aku ingin pulang saja ke desa, tapi uang yang kudapat tak pernah ada sisa. Aku tak tahu harus mencari ongkos pulang dari mana. Ayolah, Dek. Jangan buat aku gelisah, balas suratku sekali saja agar lunas sudah rasa takut ini. Aku jadi ingat gosip anak Pak Dukuh yang akan melamarmu.
Kau tidak sedang berada di atas pelaminan, bukan?
***
Kau sembunyi dimana, Mas? Jalanan kota bising, orang-orang berjalan cepat dan tak ada yang mau berhenti ketika aku ingin bertanya. Aku bingung semua serba cepat. Aku memasuki lorong sempit yang separuh jalannya dipenuhi kandang ayam. Aku bertanya kepada seorang ibu muda yang menggendong bayi.
“Ibu tahu tempat tinggal Mas Anton? Dari Wonosari.”
Ibu itu menggeleng sambil tersenyum sinis, entah apa maksudnya. Tas jinjingku kemarin putus tali pemegangnya karena terlalu berat membawa bawaanku berbulan-bulan ini, tapi kau belum kutemukan juga. Kau bersembunyi dimana, Mas? Kota yang kecil dan sesak ini telah kuputari seluruh jalannya bahkan aku telah melewati tempat ini lebih dari tujuh kali. Orang-orangnya tak tahu dimana tempat tinggalmu, mereka berjalan cepat melihatku. Mas, kau sedang kongkalikong, ya? Kau disini sudah ditemui gadis kota yang kaya raya dan kau tak mau mengenalku lagi. Lalu kau menyuruh orang-orang untuk berpura-pura tidak tahu apabila aku bertanya pada mereka. Sungguh mati aku mencintaimu, Mas. Jangan tinggalkan aku untuk pergi bersama gadis kaya barumu. Aku setiap hari tidur di barisan gelandangan di teras toko dan sekarang tasku hilang. Jahat!
Apalagi yang akan hilang setelah kau dan tasku?
Kulihat sepasang lelaki dan perempuan bersuap-suapan di sebuah restoran mewah di depanku. Jangan-jangan itu kau, Mas! Wajahmu dioperasi plastik untuk mengelabuhiku. Sungguh, kau terlihat amat tampan. Wajahku belepotan dan perutku keroncongan mengais-ngais makanan sisa di sampah tapi tidak ada, mencoba merogoh uang di kantong yang telah habis begitu lama.
***
Telah kutulis surat yang ke-5 atau mungkin yang ke-6 kalinya untukmu. Di sana aku bilang berbahagialah kau dengan siapa pun seandainya kau benar-benar sudah menikah. Aku memang lelaki bodoh yang sudah berbulan-bulan di kota namun tak dapat menemukan juragan bakso yang membutuhkan seorang jagal sapi. Jangankan untuk menjemputmu, ongkos pulang pun tak dapat kusisihkan. Sesak ini biar kutahan agar kau bahagia. Mungkin semua kepergian itu tak ditakdirkan untuk kembali. Berbahagialah, binalah cinta kalian dan jangan anggap aku ada. Apalah aku ini.
Kucium surat itu berulang-ulang, air mataku mulai menyebul tapi kutahan dalam-dalam. Mamak, Bapak yang tak pernah kukirimi kabar. Engkau Dek, Bapakmu. Harum sawah dan hujan berkelebatan di kepalaku. Kumasukkan surat terakhir di mulut kotak pos bersama rangkuman masa lalu.
Kurogoh saku jaketku, tidak tersisa sepeser uang logam pun.

Aku tak bisa pulang, aku tak mau pulang. Dan surat ini pun, barangkali tak akan terkirim dan sempat kau baca.


KBR, Maret 2007

Kamis, 26 April 2007

Pesta Hujan

lihatlah di balik kaca

hujan bernyanyi

menarik nada do re mi

do re mi fa...

kilatankilatan petir

yang nyangkut bagai lampu disko

membuat kita semakin marak bergoyang

kau dan aku bersulang

lalu mabuk suarasuara

kita berpesta, sayang

pesta di bulan april

yang kusam

yogya, april 2007


Tentang Tubuh

Dan rambutku yang bergelombang

membuatmu berenang

menebus riuh asin dan amisnya lautan

mengganti manis juga bening warnawarna

Dan tubuhku yang telanjang

membuatmu berenang

menyerap segala bacin dari

sungai kecil punuk susuku

Dan mataku yang tenang

membuatmu berenang

meminum lubuk hingga mabuk

berdendang nafasmu di telingaku

Dan rambutku

Dan tubuhku

Dan mataku

yang membuatmu terus berenang

menghanyutkan pesan mama

di awal bulan

Dan ah...

2007

Rabu, 25 April 2007

Liang, Sebuah Sajak


Liang

-perempuan itu

1.

sepi berputar di balingbaling waktu

bersama tubuh yang remuk beserta isinya

memuntahkan setiap jengkal kisah

kau hitunghitungi

dengan ruasan jari tangan

hey,

mulut ibu sangat fasih bercerita

tentang boneka barbie

membelah menjadi dua atau tiga

di hutan bakau dan rawarawa

karena dosa berapungan

lalu timbul tenggelam

dimainkan gelombang pasang

di waktu yang ituitu juga.

2.

ini masih dari cerita ibu

konon;

pekikan pangkal waktu

disulap menjadi keluh

sejenak hening cipta

mengenang semedi kemaluan

yang diseret peluru waktu

memberi bercak merah

berubah jadi darah

yang mengaramkan segala takut

segala kalut dan rasa malu

3.

cerita ibu terus saja berlantun

di kedalamaan laut yang berkecipak

memberi riak

pada ranjang di atas perahu

yang terburuburu digoyangkan

sungguh,

untuk semua yang bernama pergulatan

seluruh karam telah dilabuhkan

seluruh labuh telah dikaramkan

yogyakarta, 2006

Kamis, 19 April 2007

Siasat Terkait di palantum

pada gambargambar yang manis tersenyum

di atas kwartet.

semua kartu dikunyah

oleh tangan tangkas bergoyang

setelah dibagi sama rata

dengan debaran jantung yang mudah digambarkan

tukikantukikan kecil bentuknya

(semacam benjolan di kepala sinchan)

sering kulihat di dalam komik, sayang.

di sini, di dada berombak

kusediakan palung ternyaman

untuk menjatuhkan kartu kwartet

yang habis kau pasangkan.

sedang musuhmu terus menggerutui

kesialan yang tumpah dari cawan.

selihai hembusan angin baratdaya

memainkan tusuk rambutku.

kau berkilat mengatur siasat

menggulung kecil rencana dalam pipet

lalu mengaitkannya di atas palantum

mulutku

dan begitulah, musuhmu makin giat

mengutuki nasib yang semakin sore

2007

Rabu, 18 April 2007

Mama Mana Tahu Aku, Sebuah Puisi

sebutlah ini sebagai gumaman yang katakanlah tak jelas. aku yang limbung oleh bayang dan segala yang mengambang
terserahlah..

Mama, Mana Tahu Aku


mama, mana tahu aku

tentang janjiku yang berkuncup

di semak kaca jendela


malam menggeser mimpi kali ini

tentang persemedian

wangi kembang dan kepulan menyan

yang membentuk bulatan wajahmu

lamat-lamat hilang di tiupi udara

bertengger di tengkuk lehermu

mama, mana tahu aku

tentang janjiku yang berhamburan

di halaman harimu


meninggalkan puntung dan robekan

busa kasur

lalu cepat-cepat angin mengerdipkan

sesisih matanya

semua habur berubah jadi kuncir

yang merangkum rambut mimpimu


ini desahan lain senggama bintang-bintang

yang memuncratkan cahaya di hatimu

hingga segala serak lapuk

dan disangsikan


mama, mana tahu aku

tentang janjiku yang menjelma

tangismu




Pesan di Resah Hujan


Pesan Di Resah Hujan

-djati waloejo

lewat surat kemarin sore yang tak sengaja

teselip di dalam tumpukan mimpi.

aku melihatmu menanak nasi

dengan api kompor yang belum sempurna

dinyalakan.

gerimis mengemas resah hujan

sedang kau sisipkan rasa buah di setiap

racikan ketawarannya.

dan aku yang terbata mengeja

kata-kata dalam surat teka-teki silang

luput meminta nasi dan air rasa buah.

hanya wijen yang ada

saat kau lupa menaburkannya

di atas castengel keju kesukaanku.

Jumat, 13 April 2007

Ini Tentang Rindu



Rindu

Menjengkal jarak pada dua kelopak
mataku
piyamaku basah oleh rindu
yang memanjang panjang.

2007

sajak Pendek


Tentang Nafas

saat aku bernafas
aku ingin uap airnya
menjadi tinta
untukku menulis puisi

07/01/07

Bunga Hujan yang kuselipkan di Telingamu

kuselipkan di telingamu bunga hujan
kupetik petang ini
di antara dedaun basah airmata tuhan

bunga hujan penghibur akhir kabisatmu
yang tumbang dari tangkainya

melalui sesendok harap
lewat dzikir buah murbei
yang kau kunyah setengah matang
mulutmu fasih melafaz doa
agar di penghujung tumpul tahunmu
ada pesta permen di hutan telaga nila

semisal kerlip lampu
dan musik jadi dinyalakan
kau kenakan
gaun warnawarni sisa mendung
tak berlutut

cuaca memintal emas, membuang
benang-benang perak
dan gaunmu melengkung
di antara kelopak langit lalu setelahnya
secepat tarikan kesunyian
kuselipkan di telingamu bunga hujan
kupetik petang ini
di antara dedaun basah airmata tuhan

peta Hitam Kepulangan



Melalui sayap sajaksajak mikail*
aku datang untuk berpulang.
Menghirup ranum malam kampung halaman.
Memberi setampan nangka muda
buah tangan dari pohon nanar terbakar.

Aku datang untuk berpulang.
Mencium anyir pasir
yang menggerakkan ujung mimpiku.
Di atas sayap sajaksajak mikail
menyisir setiap bulunya
hingga hilang semua perih
dan habur segala garam bagi luka buyut,
kakek dan nenek

Aku datang untuk berpulang.
Mendengar selingkuh batubatu
menempel di kerutan dahi para ibu
yang menggendong bulan di punggungnya
lalu berjalan lantang di pematang
untuk menaruh sesisih cahaya
di putih mata kananku
dan sesisih lagi di putih mata kiriku.

Aku datang untuk berpulang.
Berpulang entah ke mana.

Poetika, 2007

*mikail=malaikat bersayap satu di novel dadaisme

Kamis, 05 April 2007

isyarat waktu



sebelum mataku ditutup
biarkan kutampung gelisahmu
dalam mangkuk daun ceplok piring
hanya untuk menyimpan sebongkah lupa
yang dititipkan hujan lewat sunyiku
kepada lelaki penunggang komedi putar;
kupersembahkan balon berwarna merah
sedang kau tersenyum getir
menelan kesunyian lain yang kutawarkan
tarikan bibirmu ranggas oleh waktu
lewat kusenkusen pintu yang tak jadi dihuni
22/10/06

Jumat, 30 Maret 2007

Sajak Origami Waktu


(Adakah yang mau mengomentarinya??)


Origami waktu

katamu:
kita menenung waktu
seperti melipat origami
kertas persegi empat
dengan warnawarna menyala
setiap sudutnya akan dipertemukan
dengan sudut lainnya.

taukah?
karena irama sunyi hentakkan tanganku
kertasku berubah menjadi lingsut
sampaisampai tetes peluhku
menumbuhkan lumut di tepiannya.

kurapikan letak poniku
aku ingat pada tulus matamu
saat kauterbangkan pesawatpesawat kertas
tanpa kata
dari diammu kau bawakanku setangkup
bonbon rasa strawbery.

aku menginginkan itu lagi
tulus matamu, diam jiwamu
serta setangkup bonbon rasa starwbery

dan kuambil kertas lagi
kulipatlipat lagi

21/10/06

Sepenggal Kisah



kuikat panjang rambutmu
lentur dan kuat, to
selaksa peristiwa tempo hari
yang membenamkanku
separoh mimpi.

lalu kulipatlipati kisah
dari putaran jarum waktu
menjelma nyanyian malam
yang tak pernah sempat kuselesaikan.

yogyakarta, 2006-2007

nulis awal


bismillah....