Kamis, 24 November 2011

Rumah Baru

Sukses juga akhirnya pindah rumah.

Saya harus meninggalkan rumah lama di http://mutiakoto.blogspot.com menuju rumah baru ini.



Semua perabot lama masih tetap ada di sini. 


Sebentar saya mesti menatanya dulu ya. Jangan sungkan-sungkan untuk bertamu.

Rabu, 04 Februari 2009

semacam perpisahan

Serpih Kenangan

segalanya akan menjadi lebih menyakitkan
saat aku berani menepis sesuatu yang kuanggap firasat
sungguh, tiap yang kuanggap aman
tiap jalan yang tak kuanggap menyimpang
merupakan kelindan labirin
aku menduga, bahwa kamu berfikir aku akan membuat undangundang
pistol dan pisau kusilangkan di pinggang
mengawasimu iniitu
mengingatkan sesuatu yang luput dari jadwal ataupun ingatan
hingga waktu aku tak bertugas sebagaimana biasa
maka anggur ditumpahkan dan kau bersulang

setiap yang berjalan punya kenangan
tapi kenangan tak memilih nasibnya sendiri
hingga bebas menjadi hantu bagi semua hal yang bergerak ke depan.
mengapa berdebar untuk kenangan?
mengapa tak berdebar untuk tangisanku saat mengetahui kau
terlalu maju dari perjanjian?
mungkin, seperti katamu malam ini
kamu tak bisa membayangkan bagaimana kalau kita tak samasama lagi
aku makin punya kesimpulan
kau tak bisa membayangkan kita pisah
bukan sebab ingin memilikiku
tapi karena kau orang yang tak bisa bebas dari rantai kenangan

setiap kamu pulang ke rumah ibumu
menginjak tanah pekarangan
kamu didebarkan oleh kenangan remaja
melihat pohon ceri di mana saat dulu inisial namamu
dan nama kekasih pertamamu tertatih di sana
kenangan juga akan mengganggu saat kau lewat
depan rumah bekas pacarmu yang lain
peristiwaperistiwa itu akan membuatmu mabuk
hatihati ketika membawakannya karena mabuk di depan umum
bisa memperangkapmu jadi tawananku

hidup ke depan dan selalu meninggalkan banyak hal
kamu memperlakukanku dengan cara yang kurang ajar
menarungkan dengan peristiwaperistiwa lama
aku menjadi kelewat biasa—seperti halnya baju, celana, atau tasmu—
yang menempel seadanya
teringat sekilas dan terlupakan lebih lama
kamu mencintaiku dengan banyak kemungkinan
dengan alasanalasan yang kau buat
untuk membuatku paham
bahwa apa yang kamu lakukan sudah benar

mei, 2008

Rabu, 21 Januari 2009

Puisi Untuk Seorang Ayah yang Meninggalkan
Kedua Anaknya Ke Palestina

pagi hari,
saat aku harus cepatcepat menguyah roti dan
meminum teh hangatku
adakah ayah di tengah malam sedang di depan api tungku
mengaduk gandum yang sedari tadi
tak kunjung mengental?
di tenda anakanak yang matanya membesar
memegang perut sambil sesekali menenangkan tidur
saudaranya yang tak nyenyak
ibu mereka semakin rajin membaca koran
membaca banyak nama janganjangan
di sana tertera nama suaminya

sedang ibu di sini,
rajin berdoa dan mengingatkan kami untuk tak banyak
bertanya tentang kepulangan ayah
lalu aku mebaca pesan seorang kawan:

bayangkan tak ada surga, neraka, agama,
negara. tidak ada kepemilikan

(Fajar Kelana)

maka aku makin paham bahwa ada yang lebih menyakitkan
dari banyak kehilanganku

bayangkan aku seorang bocah palestina
ketika terpejam maka neraka pada seluruh batas pandangan!


Januari 2009

Minggu, 21 Desember 2008

sajak

Menyisir Malioboro
kepada ulp

kemurungan seperti apa yang datang padamu
hingga di malioboro yang tak pernah mati kau
merasa sunyi bekerja?
malioboro penuh buebule berbaju tipis
pasangan mudamudi yang menjejaki tangga berjalan
menuju tempat yang paling candu bagi mereka
di teras toko tercium legit gudeg manggar juga
wangi kembang kuburan yang berderet memanjang
bercampur pedagang kerajinan
dengan penjaga yang berdada kencang
sedang kembang kuburan, seakan jadi peringatan
sederetan bakul adalah para simbah yang mengunyah sirih
di mulutnya
dan mungkin kalau aku boleh menduga
sunyi berdiam di sana?

di malioboro orang bunuh diri tak bisa mati
sebab jogja menawarkan jantungnya pada kita

2008

Bertualang Disebalik Candi Yang Sisa


Ketika lanskap kota jogja berwarna kemerahan, kami rasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk berjalan menulusuri candi prabanan yang runtuh ketika gempa 5,9 SR menghantam kota jogja 27 Mei 2008 silam. Lalu kami membangun bayang-bayang tentang perasaan Prono Citro yang ikut hancur bersamaan puing-puing batu candi Prambanan. Persembahan untuk Roro Jonggrang yang ia kasihi tak abadi. Namun sebelum kesanapun, kami harus menunggu Trans Jogja dibatas kota Yogyakarta dan Sleman. Dengan membayar Rp.3000, 00 perorang kami bisa diantar tepat didepan candi Prambanan, perlintasan paling ujung yang dilewati Trans Jogja tersebut.

Begitu sampai disana nampaknya hanya ada sedikit pengunjung saja, padahal hari itu adalah hari minggu. Yang ada hanya sebuah bus, beberapa kendaraan pribadi. Juga nampak beberapa pasangan muda-mudi yang memadu cinta dibawah rindang pohonan. Tanpa peduli tentang mitos pasangan yang datang kesana, akan putus tali asmaranya karena konon silelaki akan tersihir kecantikan Roro Joggrang dan ketika melihat kekasihnya setelah menatapi paras Roro Jonggrang yang rupawan dan tubuhnya yang sempurna maka silelaki tidak tertarik lagi pada kekasihnya.

Matahari nampak menyambut ketika kami sampai, separuh badannya bersembunyi diawan dan lainnya mengintip disebalik candi. Lalu dari lubang-lubang candi yang dalam tahap penyusunan kembali bebatuannya, sinar matahari menyorot kami. Karena gempa 2 tahun silam itu petualangan kami tidak terlalu terpuaskan. Beberapa candi yang sudah berbentuk seperti sedia kala- sudah selesai dipugar- dilarang didekati secara langsung kami hanya bisa menikmati yang sisa itu dengan naik sebuah tangga yang diberi papan diatasnya dari atas kami bisa menyapu seluruh pemandangan. Atau kalau kalau gardu pandang tersebut sudah dipenuhi orang maka dengan rela hanya melihat candi tersebut dari sebalik pagar saja. Tak ada yang berani nekat masuk mendekati candi meski pagar yang dibuat hanya sebatas pinggang orang dewasa sebab susunan bebatuan itu masih ditopang besi yang sangat besar disekitarnya, menjulan hingga melebihi pucuk candi. Truk serta beberapa Bego diparkir didalam kawasan candi, menandakan sedang berlangsungnya proyek pembangunan yang sedang diliburkan.

Lalu setelah puas berjalan menulusuri komplek Pramabanan, tenyata ada pengobat kecewa karena disebelah utara komplek tersebut terdapat sebuah candi yang saya pikir saat gemba yang lalu candi yang tidak terlalu besar tersebut tidak hancur. Kami yang penasaranpun menaiki tiap anak tangganya dan betapa terkejutnya kami ketika melihat ruangan dicandi tersebut dari sebalik jeruji pentup, ternyata candi tersebut hanya berukuran sekitar sebuah kamar kos yang sempit. Dan dari sana kami baru tahu betapa pembangunan candi tersebut diiringi selera artistik yang sangat tinggi sampai-sampai untuk membangun sebuah ruangan kecil harus dilengkapi sepasang tangga yang berada dipintu depan dan belakang, serta atap yang tinggi serta ukir-ukiran disetiap batu yang menempel. Benar-benar dari sebuah bangunan tersebut kami bisa menyimpulkan banyak kejadian yang menyertainya.

Didekat pohon ketapang yang banyak menggugurkan buah dan daunnya kami melepas lelah, meminum sirup serta beberapa potong roti yang sengaja kami siapkan dari rumah. Mata kamipun menatap pemandang yang tergelar untuk kami. Lautan batu, berserakan mungkin belum ditemukan mana pasangan yang tepat untuk digabung-gabungkan. Banyak diantara batu itu yang bertuliskan nomor kode batu yang dicat dengan warna merah. Bayangan kami batu tersebut adalah yang sebentar lagi akan disatukan dengan pasangannya yang sudah lama tidak bertemu. Oya, dicandi yang sudah dibangunpun kadang belum lengkap reliefnya. Hal itu kami ketahui dari belum lengkapnya beberapa tekstur wajah ataupun kejadian yang bercerita didinding candi tersebut. Kerumitan ini disebabkan karena relief tersebut bisa dilambangkan sebagai puzzle. Bahkan hanya untuk menggambarkan wajah, dibagi menjadi empat bagian tatahan

Karena adzan magrib sudah hampir mendekati serta candi sudah akan tutup kamipun keluar dari komplek Candi Prambanan.Dipintu keluar kami dihadang banyak pedagang asongan. Mereka menawarkan banyak miniatur Prambanan dengan berbagai fungsi, misalnya asbak, gantungan kunci hingga baju bergambar Prambanan. Semua didapat dengan harga relatif murah, untuk sebuah asbak kita hanya perlu merogoh kocek Rp.5000,00 sedang untuk sebuah gantungan kunci dihargai Rp.1000,00 saja. Sungguh tak semurah kenangan yang ditinggalkan setelah berkunjung kesana. Ternyata semakin mendekati pintu keluar masih banyak yang ditawarkan selain keeksotisan Candi Prambanan mulai dari kereta mini yang biasanya dioperasikan siang hari agar kita lebih mudah berputar melihat pemandangan, juga diisediakan pula sebuah café dengan menu-menu lokal, khas Yogyakarta dan Klaten. Juga kita dapat berkejaran dengan sepasukan kijang yang dengan liarnya bergerobol dan berlari-lari menjauhi pegunjung yang ingin menyentuh mereka. Selain itu untuk memahami cerita yang ada didinding-dinding Candi Prambanan agar lebih jelas lagi kita bisa menikmati Tari Ramayana dipanggung Ramayana terbuka, pada waktu-waktu tertentu.

Sebenarnya kami ingin melihat Tari Ramayana yang sangat terkenal itu secara langsung namun karena kedatangan kami yang tak sesuai jadwal pentas mereka kamipun menyimpan keinginan kami umtuk waktu lain. Setelah itu dengan banyak pengetahuan baru yang kami dapat dari melihat langsung ataupun membaca keterangan tentang Prambanan yang dijajakkan dengan model buklet fotokopian kamipun pulang. Berjalan beberapa puluh meter dari pintu keluar menuju tempat pemberhentian Trans Jogja. Langit kota Yogyakarta hitam tapi tidak dengan perasaan kami.
(NB: Foto Nyusul)

Selasa, 04 November 2008

esai-esaian

Silaturahmi Puitika?

Mutia Sukma*

28 Oktober 2008 lalu Peristiwa Puitika berlangsung. Sebuah acara silaturahmi bertajuk puisi digelar Taman Budaya Jawa Tengah. Menghadirkan 34 penyair dari 20 kota yang ada di pulau Jawa. Pukul 18.00, nampaknya seluruh undangan telah hadir untuk santap malam bersama sambil berbincang, saling berpelukan dan tertawa-tawa, pendeknya banyak diantara penyair merupakan “sahabat lama” dan ada acara reuni dadakan di acara tersebut. Sebelum membahas acara lebih jauh, ada baiknya saya menyebutkan beberapa penyair yang diundang untuk hadir membacakan puisinya diantaranya adalah, Dharmadi, Jumardi Hs, Kusprianto Namma, Badrudin Emce, Beno Siang Pamungkas, Eko Tunas, Timur Sinar Suprana, Bandung Mawardi, Nurhidayat Poso, Suksmawan Yant Mujiyanto dll. Lalu tepat pukul 20.00 acara inti dimulai.

Setiap penyair diharapkan penyelenggara untuk membacakan 2 buah puisinya. Mungkin karena pertimbangan banyaknya penyair yang harus membacakan karyanya. Sebagian diantara penyair mengkreasikan puisinya dengan berbagai cara misal digarap dengan musik Rock N Roll, Karaoke, Akustik, dsb. Adapula yang membaca essay, adapula yang membacakan puisi sangat panjangnya, hingga belasan lembar dan adapula yang membacakan puisinya berdasarkan teks serta tidak sedikit yang mengatraksikan puisinya dengan bumbu-bumbu teaterikal.

Ruang Theater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah yang begitu anggun menjadi semakin hidup karena sentuhan para pengisi acara yang tersorot lampu pentas yang jumlahnya sangat banyak dan saya rasa itu adalah gedung pembacaan puisi yang terbaik yang pernah saya lihat. Lalu di tengah Fasilitas yang begitu semarak tersebut saya merasakan banyak kebolongan panitia maupun para pengisi acara.

Reuni dan Kekacauan Lainnya

Seperti yang saya ilustrasikan diatas, maka acara berlangsung dengan semarak namun saya mencatat beberapa poin penting yang saya rasa amat mengganggu kemulusan Silaturahmi Puitika tersebut.

Diantaranya yaitu:

a. Panitia seakan tidak siap dengan masalah teknis yang sebetulnya sepele namun bila tidak dilakukan maka akan membawa dampak yang besar misalnya saja tidak adanya TOR acara. Hal ini tentu akan menyulitkan persiapan penyair yang akan tampil. Tentu kita akan maklum bahwa tidak semua penyair memiliki kemampuan tampil di atas panggung dengan baik selayaknya aktor teater. Dengan tidak adanya TOR acara tentu kita menunggu improvisasi pembawa acara, akibatnya banyak yang maju dengan keadaan kaget ataupun belum siap.

Panitia juga tidak memiliki catatan tentang riwayat singkat penyair selama perjalanan mereka berkarya. Hal ini tentu merugikan penikmat, bila mengerucut tentu saya yang merasa paling rugi karena saya sebagai orang yang belum bertemu banyak penyair secara langsung tentu ingin melihat wajah yang selama ini hanya saya baca lewat karyanya. Pembawa acara juga hanya memanggil nama akrab mereka misal “ Beno, Timur, Kabut ” sehingga saya sulit menerka-nerka sesungguhnya mereka menulis nama untuk puisinya siapa? Atau ini si “anu” bukan ya? Apalagi di pers rilis yang saya baca hanya ada beberapa nama saja sehingga saya begitu butanya datang ke sana membaca puisi dengan siapa saja saya tidak begitu paham (karena kebetulan saya diundang di acara tersebut). Akibat tidak adanya bahan untuk mempersilahkan penampil untuk membacakan puisinya menyebabkan pembawa acara – Sosiawan Leak- malah tidak fokus. Dia membelokkan acara menjadi ajang reunian. Sehingga puisi malah menjadi nomor sekian. Dia mempersilahkan sebagian kawan-kawan akrabnya naik ke pentas dengan prolog cerita peristiwa masa lalu, tentang kenakalan masa muda ataupun bahan olokan lainnya. Ini menjadi tidak nyaman karena peristiwa puisi yang seharusnya hadir menjadi tiada, dan peserta atau penonton yang dulu bukan menjadi kelompok mereka menjadi bingung menangkap peristiwa tersebut. Saya rasa ini merupakan kesalahan fatal, meski menurut buku yang saya baca sepotong-sepotong moment kebersamaan mereka dulu tidak jauh dari puisi yaitu banyak diantara mereka yang menjadi penggerak polemik Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang ramai diperdebatkan pada tahun 1990-an. Mereka menggulirkan desentralisasi sastra karena selama ini mereka menganggap sastra terlalu memusat di Jakarta. Tapi malam itu karena terlalu jauhnya pembawa acara membawa mereka berputar-putar maka banyak penyair yang justru menikmati suasana reunian dari pada puisi. Bahkan Beno Siang Pamungkas menyeletuk “Puisi itu tidak penting yang paling penting adalah pertemanan. Sepuluh tahun saya tidak berpuisi tapi saya tetap bisa hidup.” Atau ketika seorang esais muda dari Solo yang berkata “Esai yang dia bacakan lebih dahyat dari seribu puisi yang dibacakan malam ini.” Saya rasa itu merupakan dampak ketidakfokusan acara tersebut. Sehingga puisi kehilangan kesublimannya. Fasilitas yang diberikan Taman Budaya Jawa Tengah secara baik malah terasa kurang dimanfaatkan secara maksimal.

b. Masalah selanjutnya ada pada peserta yaitu, banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan rambu-rambu penyelenggara acara yang telah ditekankan yaitu penampil sebanyak 34 orang, ditambah pengiring acara pada pembuka dan penutup. Banyak diantara para penyair yang mereka lakukan diatas pentas adalah “menampilkan diri sendiri” dengan membawa team musik yang mendendangkan puisinya hingga banyak lagu, ditambah penyairnya masih membaca puisi secara personal. Dalam situasi tertentu, hal semacam itu tentu menjadi sebuah prestasi, tapi disituasi malam itu saya menangkap malah menjadi bentuk narsisus yang merugikan banyak orang, belum ditambah penyair lain yang seperti saya katakan di atas dia membaca puisinya sepanjang-panjangnya. Atau penampil lain yang membacakan esai. Apalagi esai yang dia bacakan bukanlah bentuk kritik puisi atau minimal ada hubungannya dengan bulan bahasa, namun dia malah mengait-ngaitkan dengan Sumpah Pemuda yang kebetulan bertepatan dengan malam itu. Tentu bila panitia lebih tegas hal serupa tidak akan terjadi. Bila saya ibaratkan sebuah pesta tentu mereka sedang salah kostum. Apalagi lama durasi yang termakan untuk penampilan mereka menghabiskan jatah waktu penampil yang membacakan puisiya belakangan. Banyak penonton yang pulang setelah separoh penyair ke belakang. Tentu tak bisa dielakkan ketika puisi dipentaskan kita membutuhkan penonton sebagai apresiator. Dan yang menjadi lebih merugikan adalah ketika empat penyair terakhir pentas diperlakukan sekedar, “asal baca saja,” karena mengejar waktu yang sudah terlalu malam. Ini nampak dari mereka dipanggil langsung keemapatnya ke atas panggung dan mereka dibebaskan menentukan siapa yang tampil lebih dulu. Tidakkah ada baiknya panitia lebih kaku terhadap peraturan guna mensukseskan maksud dan tujuan acara. Toh di luar jam acara, peserta masih diberi tempat pertemuan untuk acara yang lebih santai dan cair misal di mes tempat peserta menginap tentu akan lebih semakin erat lagi menyambung pertemanan. Serta setidaknya saya sebagai anak muda tidak kehabisan wibawa untuk menghormati generasi lebih dulu dengan tidak mengetahui secara vulgar hal-hal tabu yang seharusnya tertinggal bersama masa muda mereka dulu.

Mungkin juga pendapat saya ini terlalu sentimen dan begitu personal tapi setidaknya itu yang saya tangkap dari silatrahmi puitika tersebut. Namun lebih dari itu paling tidak peristiwa tersebut bisa menjadi pemanas energi kreatif, sama ketika mereka bertemu saat masih muda dulu. Tentu pandangan saya sangat subjektif, paling tidak saya bahagia ada diperistiwa bersejarah semacam malam itu, semoga!

Yogyakarta, 30 Oktober 2008

Pertanyaan-pertanyaan Tentang Dunia

i
sayang, terangkan padaku mengapa pantai
mencipta ledakan keindahan
namun memperangkap siapa saja di palungnya
yang dalam
juga laut yang terlihat birunya saja
menyimpan istana bagi ikanikan
mutiara, karang serta terumbu menyibaknyibak

ii
lalu mengapa aku diberi nama Sukma
jika mati itu pasti
mengapa kakakku bernama Takdir
toh dia tak bisa menulis nasibnya sendiri
mengapa nama punya arti sedang semuanya
cuma harapan sekedarnya

iii
ceritakan lagi padaku
mengapa tuhan mencipta cinta
dan memisahkan di lain waktu
dengan cara rahasia
mengapa dunia yang kukagumi dibuat
sedang akan dihancurkan juga akhirnya

2008