Rabu, 04 Februari 2009

semacam perpisahan

Serpih Kenangan

segalanya akan menjadi lebih menyakitkan
saat aku berani menepis sesuatu yang kuanggap firasat
sungguh, tiap yang kuanggap aman
tiap jalan yang tak kuanggap menyimpang
merupakan kelindan labirin
aku menduga, bahwa kamu berfikir aku akan membuat undangundang
pistol dan pisau kusilangkan di pinggang
mengawasimu iniitu
mengingatkan sesuatu yang luput dari jadwal ataupun ingatan
hingga waktu aku tak bertugas sebagaimana biasa
maka anggur ditumpahkan dan kau bersulang

setiap yang berjalan punya kenangan
tapi kenangan tak memilih nasibnya sendiri
hingga bebas menjadi hantu bagi semua hal yang bergerak ke depan.
mengapa berdebar untuk kenangan?
mengapa tak berdebar untuk tangisanku saat mengetahui kau
terlalu maju dari perjanjian?
mungkin, seperti katamu malam ini
kamu tak bisa membayangkan bagaimana kalau kita tak samasama lagi
aku makin punya kesimpulan
kau tak bisa membayangkan kita pisah
bukan sebab ingin memilikiku
tapi karena kau orang yang tak bisa bebas dari rantai kenangan

setiap kamu pulang ke rumah ibumu
menginjak tanah pekarangan
kamu didebarkan oleh kenangan remaja
melihat pohon ceri di mana saat dulu inisial namamu
dan nama kekasih pertamamu tertatih di sana
kenangan juga akan mengganggu saat kau lewat
depan rumah bekas pacarmu yang lain
peristiwaperistiwa itu akan membuatmu mabuk
hatihati ketika membawakannya karena mabuk di depan umum
bisa memperangkapmu jadi tawananku

hidup ke depan dan selalu meninggalkan banyak hal
kamu memperlakukanku dengan cara yang kurang ajar
menarungkan dengan peristiwaperistiwa lama
aku menjadi kelewat biasa—seperti halnya baju, celana, atau tasmu—
yang menempel seadanya
teringat sekilas dan terlupakan lebih lama
kamu mencintaiku dengan banyak kemungkinan
dengan alasanalasan yang kau buat
untuk membuatku paham
bahwa apa yang kamu lakukan sudah benar

mei, 2008

Rabu, 21 Januari 2009

Puisi Untuk Seorang Ayah yang Meninggalkan
Kedua Anaknya Ke Palestina

pagi hari,
saat aku harus cepatcepat menguyah roti dan
meminum teh hangatku
adakah ayah di tengah malam sedang di depan api tungku
mengaduk gandum yang sedari tadi
tak kunjung mengental?
di tenda anakanak yang matanya membesar
memegang perut sambil sesekali menenangkan tidur
saudaranya yang tak nyenyak
ibu mereka semakin rajin membaca koran
membaca banyak nama janganjangan
di sana tertera nama suaminya

sedang ibu di sini,
rajin berdoa dan mengingatkan kami untuk tak banyak
bertanya tentang kepulangan ayah
lalu aku mebaca pesan seorang kawan:

bayangkan tak ada surga, neraka, agama,
negara. tidak ada kepemilikan

(Fajar Kelana)

maka aku makin paham bahwa ada yang lebih menyakitkan
dari banyak kehilanganku

bayangkan aku seorang bocah palestina
ketika terpejam maka neraka pada seluruh batas pandangan!


Januari 2009