Selasa, 29 Mei 2007

emansipasi


aih.. sukma hari ini sukma mencoba menulis di blog sendirian. hahaha.. tak ada yang boleh masuk ke wilayah "privacy" ini kecuali sukma yang minta dengan setengah memaksa.. hahahhaha...

tapi emang (bukan) manja. namanya juga emansipasi. iya gak sih??

sajak


Undangan Kematian

Kau mengundangku mencium
Wangi kapur barus, asap dupa
Juga untaian melati
Di pesta kematianmu
Segala wewangian itu menerbangkanku
Pada segala yang putih
Menyembunyikanku dari bibirnya
Meneguk seluruh kata, seluruh dosa
Dan dititipkan pada rambut hitammu
Atau helaian yang memerak
Karena mangkir dari janjinya

O, semalam kita masih mengemas
Pandang, bukan?
Jangan-jangan pandang semanis selai itu
Dia oleskan di wajahmu
Hingga semua berubah senyum di tengah
Pesta berhidang kue duka
Juga kuas selai yang anakmu pakai
Tuk mengeruk tanda tanya

“Tak ada matahari
Tak bertukar dengan bulan, anakku
Ingatlah pada bintang-bintang yang riang
Setelahnya dan aku akan tetap
Hidup meski di hatimu,” katamu
Sambil menutup mata
Dilelap yang paling senja ini
Sekali lagi kau rangkai aksara
Meredam kecewa yang temaram

“Anakku yang baru datang, akhirnya
Kau akan segera pulang juga, bukan?”


cerpen sukma

Kita yang Tak Bertemu Di hari ke-17 keberadaanku di kota ini, aku rindu pipi ranummu juga rambut hitam panjang yang selalu kau jaga meriap ditiup angin sawah. Bulu mata pun basah di hari perpisahan kita. Amplop putih yang kupegang hati-hati ini menampung seluruh kabarku tentang kosan 3x3 di perkampungan kumuh yang bergang sempit dan separuh jalannya tertutup kandang ayam lalu pekerjaanku menjahit sarung tangan kulit di sebuah ruko di dekat pusat kota. Pekerjaan yang baru kudapat tiga hari yang lalu dan aku belum tahu pasti berapa hasil keseluruhannya setelah nanti satu bulan. Setiap selesai menjahit sebuah sarung tangan dengan rapi aku diberi upah 500 rupiah dan apabila hasilnya kurang memuaskan 350 rupiah saja. Dalam sehari rata-rata aku mampu menjahit 12 sarung tangan, padahal setiap bulannya aku harus membayar kosan 90.000 rupiah. Semoga kau memahami apa artinya semua ceritaku, tapi tenang, aku lelaki dan pasti akan menepati janji untuk menjemputmu, Dek. Jelas bukan sekarang.
Aku berharap keras dengan kemampuanku menjagal sapi di kota aku akan mendapat uang banyak. Di rumah dulu, setiap ada hajatan besar aku selalu diundang menjagal sapi, begitu juga waktu lebaran haji. Aku nekat ke kota karena cerita dari bapakmu. Ada teman beliau yang menjagal sapi di kota, pulang-pulang memiliki banyak uang dan membeli rumah. Di sana dia bekerja pada juragan bakso yang setiap harinya menyembelih sapi-sapi gemuk. Para jagal dibayar sangat mahal karena di kota profesi jagal sapi sangat jarang keberadaannya. Tapi sampai hari ke-17 ini juragan bakso yang kucari tak kunjung kutemukan. Hingga terpaksa aku melamar pekerjaan menjahit sarung tangan ini, paling tidak untuk membayar biaya tempat tinggal dan makan sebelum aku menemukan tempat juragan bakso yang disebut-sebut bapakmu itu. Sepulang kerja kulanjutkan mencari, berjalan sempoyongan hingga sekarang. Namun kali ini sedikit berhati-hati karena membawa surat untukmu itu, Dek. Kutemukan sebuah kotak pos di tikungan jalan menuju pasar. Kupandangi sekali lagi surat itu, ujungnya agak lembab terkena keringat tanganku.
Kucium erat sambil berbisik, “Sabar, tunggu aku menjemputmu, Dek.”
Lalu kumasukkan ke mulut kotak pos dan aku berjalan lagi masih sempoyongan.
***
Hampir sebulan setelah keberangkatanmu, kau belum juga berkabar, Mas! Kapan kau menjemputku? Ayo tolonglah segera, bapak berbohong beliau bilang kalau kau ke kota menjagal sapi-sapi juragan bakso, kau akan kaya. Tak ada teman bapak yang memiliki rumah dan uang gara-gara itu. Bapak mengecoh kita karena desas-desus tentang anak Pak Dukuh yang akan melamarku. Seminggu lagi dia akan datang membawa banyak uang seperti yang diinginkan bapak.
Aku harus bagaimana lagi? Segala cara telah kulakukan, menemui mamak juga bapakmu, tapi mereka tak berani berbuat apa-apa menanggapi lamaran anak Pak Dukuh itu. Mereka takut urusan kemasyarakatan mereka nantinya akan terganggu. Tak lupa kutanyakan juga di mana rumahmu saat di kota, namun mereka menggelengkan kepala. Aku dan keluargamu sama-sama tak kau kirimi kabar. Oya, kau ingat Pak Kurnia penjual barang keramik di kota itu? Dia juga tak luput kutanyai dimana kau berada, waktu dia pulang beberapa hari yang lalu.
Tapi dengan nada sedikit acuh dia bilang, “Kota itu luas …”. Sombong sekali dia. Mentang-mentang bekerja di kota. Hah… dia malas menerangkan saja. Kalau dipikir secara logika di mana-mana itu wilayah desa lebih besar daripada kota.
Ahh, Mas, aku harus bagaimana ini?
***

Jalanan terasa semakin sesak, Dek. Mencari juragan bakso dan menunggu balasan berlembar-lembar suratku yang telah kukirim berulang-ulang untukmu sama menyiksanya. Jahitanku di sarung tangan semakin hari semakin tak beres. Bos mengomel tapi tak mampu membuat sulut jantungku yang berdegup begitu kencang. Hari-hari yang kulalui dengan terus berjalan dan kelelahan tak juga membuahkan hasil yang manis.
Pernah pada suatu hari aku menemui sebuah kios besar penjual bakso. Baksonya sebesar kepalan tangan, pegawainya banyak, pembelinya antri penuh sesak. Kutemui salah satu dari mereka dan bertanya.
“Mas, kalau tempat penjagalan sapi di mana?”
“Ahh…, Mas itu, sekarang kan musimnya daging impor, Mas! Tak ada tempat penjagalan sapi lagi. Lahan kota sudah sesak bila harus ditambah deretan binatang gembul,” jawab pegawai bakso itu sambil membuat es jeruk pesanan pembeli.
Aku lalu keluar dan tetap masih berharap ada tempat penjagalan sapi yang membayarku mahal. Agar aku bisa segera menjemputmu, Dek. Tentu untuk menikah. Aku berjalan lagi menelusuri trotoar yang semakin berdebu, masih sempoyongan menahan letih seperti yang lalu. Setiap hari aku berharap di segala tumpukan lelahku, aku menemukan surat balasanmu di bawah pintu. Dalamnya, kau menulis kata-kata indah bahwa kau masih sabar menungguku, Dek.
Tapi selalu kosong. Tak kutemukan juragan bakso yang mencari penjagal sapi, tak kutemukan juga surat balasanmu. Aku ingin pulang saja ke desa, tapi uang yang kudapat tak pernah ada sisa. Aku tak tahu harus mencari ongkos pulang dari mana. Ayolah, Dek. Jangan buat aku gelisah, balas suratku sekali saja agar lunas sudah rasa takut ini. Aku jadi ingat gosip anak Pak Dukuh yang akan melamarmu.
Kau tidak sedang berada di atas pelaminan, bukan?
***
Kau sembunyi dimana, Mas? Jalanan kota bising, orang-orang berjalan cepat dan tak ada yang mau berhenti ketika aku ingin bertanya. Aku bingung semua serba cepat. Aku memasuki lorong sempit yang separuh jalannya dipenuhi kandang ayam. Aku bertanya kepada seorang ibu muda yang menggendong bayi.
“Ibu tahu tempat tinggal Mas Anton? Dari Wonosari.”
Ibu itu menggeleng sambil tersenyum sinis, entah apa maksudnya. Tas jinjingku kemarin putus tali pemegangnya karena terlalu berat membawa bawaanku berbulan-bulan ini, tapi kau belum kutemukan juga. Kau bersembunyi dimana, Mas? Kota yang kecil dan sesak ini telah kuputari seluruh jalannya bahkan aku telah melewati tempat ini lebih dari tujuh kali. Orang-orangnya tak tahu dimana tempat tinggalmu, mereka berjalan cepat melihatku. Mas, kau sedang kongkalikong, ya? Kau disini sudah ditemui gadis kota yang kaya raya dan kau tak mau mengenalku lagi. Lalu kau menyuruh orang-orang untuk berpura-pura tidak tahu apabila aku bertanya pada mereka. Sungguh mati aku mencintaimu, Mas. Jangan tinggalkan aku untuk pergi bersama gadis kaya barumu. Aku setiap hari tidur di barisan gelandangan di teras toko dan sekarang tasku hilang. Jahat!
Apalagi yang akan hilang setelah kau dan tasku?
Kulihat sepasang lelaki dan perempuan bersuap-suapan di sebuah restoran mewah di depanku. Jangan-jangan itu kau, Mas! Wajahmu dioperasi plastik untuk mengelabuhiku. Sungguh, kau terlihat amat tampan. Wajahku belepotan dan perutku keroncongan mengais-ngais makanan sisa di sampah tapi tidak ada, mencoba merogoh uang di kantong yang telah habis begitu lama.
***
Telah kutulis surat yang ke-5 atau mungkin yang ke-6 kalinya untukmu. Di sana aku bilang berbahagialah kau dengan siapa pun seandainya kau benar-benar sudah menikah. Aku memang lelaki bodoh yang sudah berbulan-bulan di kota namun tak dapat menemukan juragan bakso yang membutuhkan seorang jagal sapi. Jangankan untuk menjemputmu, ongkos pulang pun tak dapat kusisihkan. Sesak ini biar kutahan agar kau bahagia. Mungkin semua kepergian itu tak ditakdirkan untuk kembali. Berbahagialah, binalah cinta kalian dan jangan anggap aku ada. Apalah aku ini.
Kucium surat itu berulang-ulang, air mataku mulai menyebul tapi kutahan dalam-dalam. Mamak, Bapak yang tak pernah kukirimi kabar. Engkau Dek, Bapakmu. Harum sawah dan hujan berkelebatan di kepalaku. Kumasukkan surat terakhir di mulut kotak pos bersama rangkuman masa lalu.
Kurogoh saku jaketku, tidak tersisa sepeser uang logam pun.

Aku tak bisa pulang, aku tak mau pulang. Dan surat ini pun, barangkali tak akan terkirim dan sempat kau baca.


KBR, Maret 2007